Kamis 16 Sep 2021 02:04 WIB

Kejahatan Siber di Australia Naik 13 Persen Selama Pandemi

Satu dari empat insiden kejahatan siber membidik infrastruktur dan layanan penting

Kejahatan siber
Foto: Flickr
Kejahatan siber

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia mengalami lonjakan 13 persen dalam laporan kejahatan di dunia maya pada 2020 seiring banyaknya orang yang bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19, kata pemerintah pada Rabu (15/9). Sepanjang 2020, sekitar satu dari empat insiden kejahatan siber membidik infrastruktur dan layanan penting di Australia.

Pusat Keamanan Siber Australia (ACSC) menerima satu laporan kejahatan setiap delapan menit selama 12 bulan hingga 30 Juni 2021. Laporan kejahatan siber meningkat ketika jumlah warga Australia yang bekerja secara daring mencapai rekor selama pandemi, kata ACSC dalam laporan tahunannya yang diterbitkan pada Rabu (15/9).

Para peretas merajalela dalam mengeksploitasi kondisi pandemi Covid-19 dan secara aktif menyasar orang-orang dan layanan kesehatan yang rentan untuk melakukan spionase, serta mencuri uang dan data sensitif, kata Asisten Menteri Pertahanan Australia Andrew Hastie dalam sebuah pernyataan.

Kasus serangan ransomware meningkat hampir 15 persen dan sektor kesehatan melaporkan jumlah serangan siber tertinggi kedua. Ransomware adalah sejenis perangkat lunak berbahaya yang dirancang untuk menyandera akses ke sistem komputer sampai sejumlah uang tebusan dibayarkan.

Perangkat lunak itu bekerja dengan mengenkripsi data korban dan biasanya peretas akan menawarkan kunci dengan imbalan pembayaran mata uang kripto yang nilainya dapat mencapai jutaan dolar.

"Para penjahat siber meningkatkan serangan mereka terhadap warga Australia," kata Hastie.

Pada Juni 2020, Australia mengatakan sedang dibidik oleh "aktor siber canggih berbasis negara" dengan serangan yang menargetkan semua level pemerintahan, partai politik dan penyedia layanan penting. Sejumlah narasumber mengatakan kepada Reuters bahwa Australia memandang China sebagai tersangka utama, namun tuduhan itu telah dibantah oleh Beijing.

Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, pada Juli 2021 menuduh China melakukan kampanye spionase dunia maya, yang menurut Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menimbulkan "ancaman besar bagi keamanan ekonomi dan nasional".

sumber : Antara / Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement