Jumat 24 Sep 2021 18:41 WIB

Formappi: DPR tak Boleh Tutup Mata Polemik 57 Pegawai KPK

Tidak adanya merespons pemecatan pegawai KPK adalah rangkaian kejanggalan sikap DPR.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Ilham Tirta
Peneliti Formappi Lucius Karus.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Formappi Lucius Karus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR berupaya mengambil posisi aman dalam sengkarut persoalan terkait nasib 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipecat. Mereka tidak bertindak apapun dengan tindakan yang dinilai tak lazim tersebut.

"Dengan tidak memberikan respons khusus, DPR nampak ingin terlihat profesional dengan tidak mencampuri persoalan lembaga lain seperti KPK. Padahal, pemecatan 57 pegawai KPK itu bukan lagi terbatas menjadi pembicaraan internal KPK. Ini tidak semata-mata persoalan internal saja oleh DPR," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (24/9).

Ia melanjutkan, 57 orang mantan pegawai KPK yang dipecat itu adalah anak bangsa, bagian dari warga yang mandatnya sudah diserahkan ke DPR untuk diperjuangkan. Dengan itu, mestinya DPR tidak bisa menutup mata dengan persoalan yang terjadi terkait pemberhentian mereka.

"Bagaimanapun ke 57 orang itu sudah punya rekam jejak bekerja sesuai tujuan KPK. Karenanya, mereka pantas untuk didengarkan dan nasib mereka pantas untuk diperdulikan oleh DPR," kata dia.

Ia menambahkan, tidak adanya keberanian DPR merespons pemecatan 57 pegawai KPK adalah rangkaian kejanggalan sikap lembaga parlemen terhadap KPK. Kejanggalan itu sudah terlihat sejak revisi UU KPK di penghujung periode DPR 2014-2019 lalu.

"DPR dianggap tidak punya komitmen untuk memperkuat KPK sehingga saat ini mereka tidak ingin dinilai macam-macam lagi oleh publik. Atau bisa juga ini bentuk konsistensi DPR yang dianggap memang tidak berkomitmen memperkuat KPK," kata dia.

KPK resmi memecat 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berintegritas. Ombudsman juga telah menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Meski demikian, temuan Ombudsman dan Komnas HAM tidak menjadi pertimbangan KPK. Pimpinan KPK hanya berpegang serta menyinggung putusan MA dan MK yang menyatakan pelaksanaan TWK sah. Rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM ke Presiden Joko Widodo juga sampai saat ini belum direspons.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement