REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Partai Alternative für Deutschland (AfD), yang merupakan partai sayap kanan Jerman mengkritik kebijakan baru wali kota Cologne. Wali Kota Cologne Henriette Reker baru-baru ini mengeluarkan aturan yang mengizinkan masjid menyiarkan adzan pada Jumat.
“Ini memberi kesan Jerman bukan negara Kristen, tapi negara Muslim. Ini bukan masalahnya,” kata Wakil juru bicara AfD di Cologne, Matthias Buschges, dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (14/10).
Cologne adalah salah satu kota terbesar di Jerman dan rumah bagi lebih dari 120 ribu warga Muslim. Jumlah ini sama dengan 12 persen dari seluruh populasi kota.
Wali Kota Reker mengumumkan pekan lalu hampir 30 masjid di kota itu akan diizinkan menyiarkan adzan pada Jumat melalui pengeras suara. "Cologne adalah kota keragaman agama dan kebebasan. Mengizinkan adzan bagi saya adalah tanda hormat,” katanya.
Tapi gerakan Islamofobia dan partai sayap kanan AfD mengkritik keras keputusan Reker, dengan alasan ini adalah tanda lain dari "Islamisasi Jerman". Wakil Juru Bicara Federal AfD Beatrix von Storch mengatakan partainya sangat menentang keputusan ini.
“Seruan muadzin bukanlah ekspresi kebebasan beragama, toleransi, dan kebhinekaan. Ini adalah ekspresi dari klaim politik untuk memerintah, tunduk dan Islamisasi,” katanya di Twitter.
Menurut kesepakatan antara kota Cologne dan komunitas Muslim setempat, masjid-masjid sekarang dapat menyiarkan adzan pada Jumat sore hingga lima menit. Konstitusi Jerman menjamin kebebasan beragama, tetapi penyiaran adzan dari masjid telah menjadi kontroversi di beberapa kota karena kerangka kerja yang berbeda.
Jerman adalah sebuah negara berpenduduk lebih dari 80 juta orang. Negara ini memiliki populasi Muslim terbesar kedua di Eropa Barat setelah Prancis. Di antara hampir 4,7 juta Muslim di negara itu, tiga juta berasal dari Turki.
Negara ini telah menyaksikan rasialisme dan Islamofobia yang berkembang baru-baru ini selama bertahun-tahun, didorong oleh propaganda kelompok dan partai sayap kanan. Mereka terkenal berusaha memicu ketakutan Muslim dan imigran untuk memenangkan lebih banyak suara.