REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep berbelanja dengan dana talangan dari suatu perusahaan aplikasi banyak ditemui saat ini. Bagaimana pandangan syariah terkait paylater?
Ustadz Oni Sahroni dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 3 menjelaskan bahwa prinsip dasarnya paylater adalah fitur dan produk yang netral dan bermanfaat bagi pengguna pada khususnya. Apabila kebutuhan yang dibeli dengan paylater itu adalah kebaikan, maka kehadiran fitur ini memudahkan orang untuk menunaikan kebaikan tersebut.
Ustadz Oni menyebut fitur paylater tidak memberikan fasilitas transaksi yang bertentangan dengan syariat. Di antaranya barang dan jasa yang dijual oleh penjual melalui fitur paylater halal dan legal. Begitu pula tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan dengan cara, antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
Di sisi lain, dia menilai fitur paylater terhindar dari transaksi ribawi dan transaksi terlarang lainnya. Oleh karena itu, penerbit paylater tidak menjadi kreditor yang mendapatkan keuntungan berupa bunga atas jasa pinjamannya kepada pengguna.
Dia menambahkan, sesuai dengan peraturan perundangan, paylater mendapatkan penegasan kesesuaian syariah dari regulator terkait, serta otoritas fatwa di DSN MUI. Sehingga hal itu memberikan kenyamanan kepada para konsumen karena telah mendapatkan legitimasi.
Rambu-rambu dan kesimpulan tersebut didasarkan pada landasan dan dalil. Di antaranya larangan transaksi ribawi sebagaimana kaidah, “Kullu qardhun jarra naf’an fahuwa riban idza kaana masyruthan fihi naf’un lil-muqridh,”. Yang artinya, “Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (kepada kreditor) adalah riba, jika dipersyaratkan,”.