REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- MAARIF Institute bekerja sama dengan P3M, menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Kapasitas Think Tank, dengan tema; “Advokasi Kebijakan Untuk Penguatan Toleransi Dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan”. Kegiatan yang dilakukan melalui Webinar ini dilaksanakan selama dua hari pada 18–19 Oktober 2021 dengan menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Dr Ahmad Suaedy, Dr Suyoto, Dr Rachmawati Husein, dan Dr Cahyo Nuryanto. Bertindak sebagai keynote speaker, Prof Dr Dadang Kahmad (PP Muhammadiyah) dan KH Masdar F Masudi (PBNU). Acara ini dimoderatori oleh Hijroatul Maghfiroh.
Abd Rohim Ghazali, direktur eksekutif Maarif Institute mengatakan, pelatihan advokasi kali ini terasa sangat istimewa karena pesertanya dari pengurus pusat dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. “Harapan kami, pelatihan ini mampu memberikan pencerahan serta perspektif yang lebih luas tentang arah kebijakan. Maka, dengan mempertimbangkan pengurus pusat Muhammadiyah dan pengurus besar NU, sebagai ormas terbesar yang menjadi gawang moderatisme Islam, keduanya dapat memainkan peran yang sangat penting untuk memengaruhi pembuat/perumus kebijakan,” jelas Rohim seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (19/10).
Dalam paparannya, Ahmad Suaedy mengatakan, ada beberapa hal yang harus diketahui yakni dari mana intoleransi dan ekstremisme menguat? Lalu dari mana strategi advokasi dimulai? Dua pertanyaan ini menjadi fokus materi yang disampaikannya.
Menurutnya, intoleransi menguat karena beberapa faktor, di antaranya sistem demokrasi yang manipulatif, sistem politik yang dikendalikan oleh election campaign industries, serta agama dan identitas sebagai instrumen pembelahan untuk kepentingan politik. “Menguatnya intoleransi harus ditangani dengan melakukan strategi advokasi yang benar sebagai usaha agar kelompok-kelompok yang kurang beruntung dan kurang bersuara bisa lebih menyuarakan dan mendapatkan hak-hak dasar mereka”, tegas Suaedy.
Rahmawati Husein, melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini menjadi isu yang menonjol dalam pemberitaan media massa. Menurutnya, salah satu faktor yang dapat menarik seseorang untuk ikut dalam gerakan kelompok radikal adalah relasi kekuasaan di masyarakat yang menempatkan perempuan pada subordinat atau kelas kedua. “Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga sebagai unit terkecil serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk penguatan kapasitas sangat diperlukan,” jelasnya.
Sementara Suyoto dan Cahyo Nuryanto, menambahkan bahwa kasus pelanggaran yang terjadi di daerah-daerah, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, serta mengambil kebijakan progresif untuk menjamin tata kelola pemerintahan yang inklusif dan toleran. “Perlu terobosan untuk memperluas fungsi-fungsi mereka bagi pemajuan toleransi,” jelas Suyoto.
Pelatihan ini diikuti oleh 50 peserta pengurus pusat dua organisasi besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Dari NU (ketua tandfizdiyah, wakil sekjend Tandfizdiyah, rois syuriyah, katib syuriyah, wakil ketua Muslimat, sekretaris Muslimat, ISNU, LPTNU, LDNU, LBM, Ma'arif, RMI, LPBH, LTM NU, LTN NU, dan Pergunu).
Adapu dari Muhammadiyah (ketua PP Muhammadiyah, sekretaris PP Muhammadiyah, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah, Ketua PP Aisyiyah, Organisasi Sekretaris PP Aisyiyah, Majelis Dikdasmen PP Aisyiyah, Majelis Pendidikan Tinggi PP Aisyiyah, Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian PP Aisyiyah).