REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Setelah masuk dari pintu Shafa, masyarakat Makkah, memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi pelaksana tugas (mandor) memperbaiki Kabah. Atas kejadian ini tidak ada lagi yang pemimpin yang berkuasa selain Baginda Nabi Muhammad dalam memimpin perbaikan Kabah.
"Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi," tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah meninggalnya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya. Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Makkah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Ka'bah itu.
Dan jatuhnya kekuasaan itu pun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian. Pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan.
"Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri," katanya.
Meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Makkah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali, sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir.
"Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Kabah, ini merupakan jaminan bagi Makkah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan," katanya.
Dan memang demikianlah sebenarnya, di balik kedudukan ini Makkah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Makkah.
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa, Naufal.
"Mereka satu sama lain berkata:
"Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini," katanya.