REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan, Senin (25/10), junta Myanmar sebagai pemerintah negara itu tidak akan berhenti meningkatkan kekerasan. Dia memperingatkan langkah seperti itu akan mendorong Naypyidaw menuju ketidakstabilan dan menjadi negara gagal.
"Saya berharap komunitas internasional tidak akan menyerah. Kita harus berdiri bersama rakyat," kata Schraner Burgener yang menyelesaikan jabatannya akhir pekan ini setelah lebih dari tiga tahun.
Protes dan kerusuhan telah melumpuhkan Myanmar sejak kudeta 1 Februari. Militer dituduh melakukan kekejaman dan kekuatan berlebihan terhadap warga sipil, meskipun junta menyalahkan kerusuhan pada treoris yang bersekutu dengan pemerintah bayangan.
Schraner Burgener pekan lalu mengatakan bahwa Myanmar telah mengalami perang saudara dan kesempatan untuk kembali ke demokrasi menghilan. Dia menilai militer tidak tertarik dalam kompromi atau dialog.
"Kekerasan tidak akan berhenti jika seseorang menerima SAC sebagai pemerintahan yang sah, kekerasan tidak akan berhenti," kata Schraner Burgener, merujuk pada Dewan Administrasi Negara (SAC), sebutan junta Myanmar.
Diplomat dari Swiss mengatakan, perlunya dialog nyata dan jujur di antara semua pihak. Namun, agar itu terjadi, pemimpin militer Myanmar Min Aung Hlaing pertama-tama perlu digantikan oleh seseorang yang lebih konstruktif.
Para pemimpin Asia Tenggara akan bertemu pekab ini, tanpa Min Aung Hlaing. "Tidak ada seorang pun di kawasan ini yang tertarik untuk mengakui SAC karena itu berarti menuju negara gagal, ketidakstabilan, tidak hanya di Myanmar, tetapi juga di kawasan itu," kata Schraner Burgener.
PBB juga dihadapkan dengan klaim saingan tentang siapa yang akan duduk di kursi Myanmar di badan dunia itu. Sebuah keputusan oleh negara-negara anggota digambarkan Schraner Burgener sebagai langkah penting dalam menentukan akhir tahun ini.