Jumat 29 Oct 2021 13:16 WIB

Bagaimana Hukum Syariah Berinvestasi di Cryptocurrency?

Terdapat dua pandangan mengenai berinvestasi di crypto.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
 Sejumlah mata uang kripto di dunia, Bitcoin (bawah kanan), Ethereum (tengah), Ripple (kanan), dan Cardano (kiri).
Foto: EPA
Sejumlah mata uang kripto di dunia, Bitcoin (bawah kanan), Ethereum (tengah), Ripple (kanan), dan Cardano (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investasi cryptocurrency semakin marak di Indonesia, khususnya untuk generasi milenial. Banyak yang melihat potensi keuntungan yang besar dari koin digital ini. Namun, tanpa adanya pemahaman yang cukup dalam berinvestasi, banyak juga yang telah merasakan kerugian.

Ahli Keuangan Syariah dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Dian Masyita menjelaskan, secara hukum ekonomi syariah terdapat dua pandangan mengenai berinvestasi di crypto.

Pandangan pertama, cryptocurrency itu tidak shariah compliance. Berdasarkan fatwa dan pandangan berbagai akademisi Muslim dan ahli keuangan dan perbankan syariah yang melarang cryptocurrency, dalam hal ini bitcoin (karena yang paling populer), terdapat beberapa alasan pelarangan tersebut:

  • Cryptocurrency tidak memiliki landasan hukum beroperasi (legal tender).
  • Pihak yang mengeluarkan cryptocurrency tidak dikenal/diketahui (tidak jelas).
  • Cryptocurrency tidak memiliki kekuatan otoritas / pemerintah yang mendukungnya.
  • Pergerakan harga cryptocurrency sangat berfluktuatif sehingga terlihat highly speculative, tidak stabil, tidak terpercaya (untrustworthy dan unreliable).
  • Cryptocurrency dapat dengan mudah menciptakan mudarat baru seperti digunakan sebagai pencucian uang (money laundering) dan aktivitas ilegal lainnya.

"Secara syar’i suatu instrumen yang akan digunakan harus mampu menghalangi kejahatan/keburukan untuk masuk. Kalau akan menjadi tempat masuk berbagai kejahatan dan kebiasaan buruk (berjudi/rakus/ serakah) itu sebaiknya dihindari," jelas Prof Dian Masyita kepada Republika.co.id, Kamis (28/10).

  • Cryptocurrency tidak di back-up oleh aset apapun, jadi sebagian berpendapat seperti itu dibentuk dari sesuatu yang tidak ada (it is created out of nothing).
  • Cryptocurrency merupakan subject untuk high speculation / perjudian. Trading mata uang/ currency tidak dibolehkan.
  • Cryptocurrency masuk ke ranah gharar terutama saat diperdagangkan dan maysir.
  • Risiko yang bisa di-manage dan ada risiko yang tidak dapat di-manage (excessive risk). Excessive risk itu sama dengan judi. Risiko mengikuti keuntungan, high risk high return.

Selain itu, untuk menambang bitcoin, menghabiskan energi yang sangat besar. Hal ini akan merusak lingkungan dan tidak akan sustainable (berkelanjutan) di masa depan.

Dalam pandangan kedua, Cryptocurrency dibolehkan (permissible) dengan mengutip suatu kalimat hukum terkenal: "everything is permissible unless we found it clearly contradictory to shariah principles".

"Semuanya boleh kecuali apabila ditemukan larangannya karena bertentangan dengan syariah," kata Prof Dian.

Menurut sebagian akademisi Islam dan ahli agama yang mendukung ini, semua bisa disebut uang apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut:

  • Dianggap sebagai barang bernilai bagi masyarakat sekitarnya/sekelompok masyarakat.
  • Diterima sebagai alat tukar bagi sekelompok masyarakat tertentu.
  • Dapat digunakan untuk mengukur suatu nilai.
  • Dapat ditempatkan dalam suatu unit rekening

Prof Dian mengungkapkan, beberapa fatwa seperti The Fatwa Center of South African Islamic Seminary, Darul Uloom Zakariyya, mengambil posisi mendukung Bitcoin/cryptocurrency sebagai bentuk mata uang/ harta, sehingga boleh diperdagangkan.  

Berbagai studi salah satunya dilakukan oleh Muhammad Abu-Bakar dari Blossom Finance berfokus pada Bitcoin dan cryptocurrency lainnya menyatakan kesesuaiannya dengan definisi uang dalam hukum syariah. Studi ini merekomendasikan bahwa bitcoin adalah shari’ah compliance.

Kendati begitu, menurut Dian, pada akhirnya yang unggul adalah mata uang digital yang kuat, yaitu mata uang yang dimiliki oleh negara yang kuat atau yang memiliki jaringan ekonomi global yang kuat.

Oleh karena itu, bagi yang ingin tetap berinvestasi di crypto, ia menyarankan agar mempelajari dengan baik cara berinvestasi digital tersebut dan kenali profil risiko.

"Pemenang aset digital adalah aset yang kuat menyimpan nilai, yang terbaik keamanannya, yang paling diterima oleh masyarakat, terbaik ekosistemnya, paling stabil, terbaik layanannya dan membawa kebaikan baik dirasakan oleh pemilik maupun orang disekitarnya (social value)," ujarnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement