REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inteligensia artifisial jadikan wawancara kerja objektif. Begitu janji para pengembang tool. Namun, sebuah analisis mengungkap, piranti lunak itu rugikan perempuan dan rasialis.
Kompetisi kecantikan "beauty.ai" menjanjikan objektifitas dalam memilih orang berparas paling menawan di bumi. Kompetisi itu digelar dengan bantuan inteligensia buatan atau artificial inteligence, yang biasa disingkat AI.
Lebih dari 6.000 selfi sudah diserahkan, dari berbagai bagian dunia. Namun, hampir semua pemenang berkulit putih.
Masalahnya: inteligensia buatan dilatih memberikan penilaian dengan data-data wajah orang dari Eropa Tengah. Sedangkan wajah orang dari kawasan dunia lain tidak dikenali dengan baik.
Keputusan AI berdampak pada hidup manusia
Salah seorang peneliti inteligensia buatan, Joy Buolamwini, juga mengeluhkan kerugian besar lain akibat inteligensia buatan. "Kita harus semakin menyadari adanya algoritme destruktif misterius yang menyebar luas dan semakin digunakan untuk mengambil keputusan yang berdampak pada hidup kita.“
Buolamwini menjelaskan lebih lanjut, misalnya dalam hal siapa yang dapat pekerjaan, siapa yang dipecat. Apa orang ini dapat pinjaman atau tidak, dapat asuransi, atau dapat tempat kuliah yang diinginkan.
Banyak piranti lunak yang digunakan perusahaan untuk memilih pekerja baru menggunakan kecerdasan buatan. Piranti lunak ini menganalisa bahasa tubuh atau kata-kata yang digunakan.
Pembuat piranti lunak seperti HireVue menjanjikan objektifitas lebih tinggi sehingga katanya keanekaragaman dan keadilan gender bisa tercapai.
Pakar seperti Lorena Jaume-Palasí meragukan itu. Ia menganalisis 38 piranti lunak untuk proses penerimaan pegawai yang digunakan Pemerintah Jerman.