Rabu 10 Nov 2021 05:47 WIB

5 Argumentasi Utang Bukan Perkara yang Dilarang Agama

Berutang merupakan bagian tak terlepaskan dalam interaksi sosial

Berutang merupakan bagian tak terlepaskan dalam interaksi sosial. Ilustrasi utang.
Foto: Republika/Musiron
Berutang merupakan bagian tak terlepaskan dalam interaksi sosial. Ilustrasi utang.

Oleh : Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Dr Oni Sahroni

REPUBLIKA.CO.ID, — Utang merupakan bagian tak terlepaskan dalam interaksi sosial. Kendati sebagian orang beranggapan berutang adalah perkara yang dilarang bahkan dianggap hina. 

Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam berutang. Pertama, tidak ada satu pun nash (Alquran atau hadis) dan konsensus para ulama yang melarang berutang. Begitu pula tidak ada nash atau konsensus yang membolehkan secara mutlak berutang. 

Baca Juga

Di antara nash-nash yang ada itu menjelaskan bahwa Rasulullah melakukan pembelian secara tidak tunai (berutang), doa ma'tsur dari Rasulullah agar terhindar dari lilitan utang, anjuran Rasulullah meninggalkan aset bagi ahli waris (bukan utang), dan hadits-hadits sejenis.

Kedua, berutang itu halal selama memenuhi kriteria dan adabnya. Berutang itu dibolehkan selama peruntukannya halal, mampu untuk melunasinya sesuai kesepakatan, dan dengan perjanjian kredit yang halal (terhindar dari kredit ribawi). 

Sebaliknya, berutang menjadi tidak boleh saat peruntukannya tidak halal, dengan perjanjian kredit yang dilarang, atau berutang dengan tidak ada iktikad untuk membayar. Sebagaimana hadits dari 'Aisyah RA, ia berkata: 

اشترى رسول الله - صلى الله عليه وسلم - من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد

"Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari Muslim).

Ketiga, target yang perlu proses. Walaupun idealnya setiap orang memenuhi kebutuhannya tanpa utang (seperti berbelanja secara tunai), bahkan mewariskan aset (tanpa utang), tetapi itu adalah target yang perlu proses. Tidak sedikit orang yang menjadi berkecukupan tanpa utang, tetapi setelah melewati proses panjang dalam dunia usaha dan profesional dengan seluruh dinamikanya. 

Oleh karena itu, agama Islam yang fitrah merespons kondisi masyarakat di lapangan dengan memilah ketentuan berutang sesuai dengan kondisinya sebagaimana dijelaskan di atas. Berutang itu diperbolehkan saat memenuhi ketentuan dan adabnya. 

Keempat, fokus dengan ikhtiar. Dengan begitu, yang menjadi fokus setiap orang adalah bagaimana memaksimalkan proses usaha hingga menjadi orang yang berkecukupan dan tidak berutang. Sebaliknya, mengusung tema tidak berutang hanya sebagai jargon tanpa ada ikhtiar maksimal itu bukan bagian dari tuntunan fikih dan adab seorang profesional Muslim. 

Di antara tuntunan yang menegaskan bahwa berutang itu dibolehkan atau bahkan dianjurkan dalam kondisinya itu adalah Rasulullah SAW menegaskan bahwa mereka yang berutang selama memiliki iktikad untuk melunasinya, maka Allah SWT membukakan jalan agar ia mampu menunaikan kewajibannya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: 

مَن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barang siapa yang meminjam harta orang lain dengan niat ingin ditunaikan (dibayar), niscaya Allah akan menolongnya untuk dapat menunaikannya. Sebaliknya, barang siapa yang mengambil harta orang lain untuk memusnahkan (dirusak), maka Allah akan memusnahkannya." (HR Bukhari dan Ibnu Majah).

Bahkan, Rasulullah SAW mengategorikan mereka yang harus meminjam itu menjadi pihak yang layak mendapatkan bantuan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: 

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ... أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا

"Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah ... mem bayarkan utangnya." (HR Thabrani).

Kelima, seperti para karyawan yang berpenghasilan tidak besar, tetapi punya kebutuhan akan rumah untuk tempat tinggal keluarganya, maka dia mengajukan pembiayaan ke bank syariah. 

Selain itu, para pebisnis yang mengelola usaha satu-satunya sebagai sumber pendapatan, menambah modal dengan cara berutang. 

Begitu pula mereka yang bekerja harus menggunakan kendaraan dari rumahnya ke tempat kerja mengajukan pembiayaan kendaraan bermotor agar pekerjaannya bisa tertunaikan dengan baik dan keluarga teperhatikan. Wallahu a'lam.   

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement