Selasa 23 Nov 2021 17:42 WIB

Solusi Konflik di Papua, Kirim Pasukan TNI atau Diplomat?

Kelompok separatis di Papua telah dimasukan dalam daftar terduga teroris.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ilham Tirta
Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyandera pesawat milik perusahaan penerbangan PT ASI Pudjiastuti Aviation di Lapangan Terbang Wangbe, Distrik Wangbe Kabupaten Puncak, Papua, Jumat, 12 Maret 2021.
Foto: anadolu agency
Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyandera pesawat milik perusahaan penerbangan PT ASI Pudjiastuti Aviation di Lapangan Terbang Wangbe, Distrik Wangbe Kabupaten Puncak, Papua, Jumat, 12 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting menilai, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa harus mengedepankan operasi teritorial untuk menangani konflik di Papua. Menurut dia, operasi teritorial merupakan salah satu pendekatan humanis karena melibatkan kerja sama dengan masyarakat lokal atau setempat.

“Pendekatan teritorial itu lebih humanis ya. Tujuannya kan menembak hati rakyat. Jadi mempengaruhi masyarakat untuk dekat dengan TNI,” kata Ginting kepada Republika.co.id, Selasa (23/11).

Baca Juga

Ginting menjelaskan, operasi teritorial ini pun perlu dibarengi atau di-back up oleh operasi intelijen. Setelah itu, perlu ada penambahan pasukan keamanan, khususnya di wilayah perbatasan Papua dengan Papua New Guinea. Sebab, menurut dia, pengamanan di perbatasan masih lemah.

Hal itu terkait adanya pengakuan bahwa senjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu didapat dari Papua New Guinea. Artinya, senjata itu lolos dari perbatasan karena pengawasan lemah. "Nah, kelemahan itu harus diperbaiki. Jadi memang kekuatan pasukan di sana harus ditambah, dalam pengertian pasukan Kodam,” kata dia.

Ginting menuturkan, saat ini jumlah pasukan pada Kodam Cendrawasih maupun Kodam Kasuari masih sangat kurang. Sehingga dibutuhkan penambahan personel atau pembentukan satuan baru TNI untuk melakukan pengepungan terhadap anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) - OPM.

“Kalau memang belum bisa membentuk satuan baru di sana, maka sekurang-kurangnya harus ada sekitar 20 batalyon yang ditugaskan di sana dari luar Papua maupun Papua Barat supaya tidak hanya mengandalkan pengejaran saja,” ujarnya.

Alasannya, dalam pengejaran, anggota TPNPB-OPM dapat menyatu dengan penduduk setempat. Akibatnya, aparat keamanan akan sulit membedakan mana yang masyarakat sipil dan mana yang tergabung dalam kelompok separatis.

“Maka harus dilakukan pengepungan, bukan pengejaran. Kita sudah belajar dari pengalaman di Aceh, kalau pengejaran itu selalu lolos, maka harus dilakukan pengepungan. Jadi kalau kekuatan OPM-nya itu satu batalyon, maka kita harus mengepung dengan empat batalyon, harus seperti itu,” jelas Ginting.

Pengepungan itu, kata dia, dibarengi dengan operasi teritorial. Di sini, perab babinsanya harus diperkuat karena mereka yang memiliki koneksi dengan masyarakat. "Sehingga terbentuk juga yang namanya Wanra, pertahanan rakyat,” kata dia.

Berbeda dengan Ginting, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas justru berpendapat, upaya untuk menambah jumlah pasukan dalam penanganan konflik di Papua bukanlah keputusan yang tepat. Menurut dia, solusi yang sepatutnya ditempuh adalah dengan melakukan dialog antara pihak yang berkonflik, yakni pemerintah dengan TPNPB-OPM.

“OPM itu adalah bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka adalah gerakan separatis, gerakan yang ingin merdeka. Solusinya bukan dengan mengirim tentara, tapi mengirim diplomat untuk berunding dengan mereka. Cara pandangnya harus seperti itu. Itu paradigma damai. Kalau dengan mengirim pasukan, itu bukan paradigma damai,” jelas Cahyo.

TPNPB-OPM, lanjutnya, bukanlah teroris, tetapi mereka adalah kelompok yang hanya ingin merdeka. Sehingga salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik, yaitu dengan mengirim juru runding dari pihak pemerintah untuk mendengarkan aspirasi dan keinginan dari kelompok tersebut.

“Perlu adanya dialog antara Jakarta dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka. Apakah yang di hutan, apakah yang di Inggris, di Amerika, di Jayapura, semua dilibatkan. Jadi paradigma damai itu, pendekatan dialog ya, mengakui aspirasi mereka, keberadaan mereka,” tutur Cahyo.

Menurut dia, dulu Indonesia pernah berdialog dengan Gerakan Aceh Merdeka. Hal itu bisa dilakukan dengan OPM saat ini.

Seperti diketahui, sejumlah kelompok dari TPNPB-OPM yang biasa disebut Kelompok Kriminal Separatis Bersenajata (KKSB) atau KKB saja, kini telah dimasukan sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT).

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada April lalu mengatakan, pemerintah telah meminta kepada semua aparat keamanan terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap organisasi-organisasi tersebut.

"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," ujar Mahfud. Ia mengeklaim keputusan tersebut diambil setelah mendengar pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Intelijen Negara (BIN), pimpinan Polri-TNI dan tokoh-tokoh Papua.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement