REPUBLIKA.CO.ID, HALMAHERA – Perikanan budi daya bisa menjadi sektor unggulan, penggerak utama perekonomian dan sumber kesejahteraan masyarakat Maluku Utara (Malut). Namun tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah.
“Dengan luas laut 78 persen total wilayahnya, Provinsi Maluku utara memiliki potensi produksi lestari perikanan budi daya yang sangat besar, nomor dua di Indonesia. Namun hingga kini tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Baru dua persen dari potensi yang ada,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS saat menjadi pembicara kunci (keynote speaker) Rapat Kerja Teknis dan Seminar Nasional Sektor Perikanan Budidaya Bersama Kepala Daerah Se-Provinsi Maluku Utara di Kantor Bupati Halmahera Barat, Rabu (24/11).
Raker teknis tersebut dibuka Wakil Gubernur Maluku utara M ali Yasin. Raker teknis itu juga dihadiri direktur Pembenihan Ditjen Perikanan Budidaya KKP RI, bupati Halmahera Tengah, wakil Bupati Kepulauan Sula, rektor Unkhair, rektor UMMU, rektor Unpas Morotai, dan Forkompinda Kabupaten Halmahera Barat.
Rokhmin menjelaskan, perikanan budi daya (akuakultur) tidak hanya menghasilkan sumber protein hewani (ikan, krustasea, moluska, dan ivertebrata); tetapi juga bahan berbagai jenis biota perairan lain yang merupakan bahan baku (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, film, cat, pelapis badan pesawat terbang, biofuel, dan beragam industri lainnya. Bahkan, tanaman pangan (sumber karbohidrat) pun sudah berhasil dibudidayakan di ekosistem perairan laut.
“Secara potensial, perikanan budidaya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, dan menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar,” ujar ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tersebut dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menjelaskan, aktivitas on-farm aquaculture menyerap banyak tenaga kerja, dan aquaculture membangkitkan multiplier effects (industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa) ekonomi yang sangat besar. “Setiap 1 orang bekerja di on-farm aquaculture menciptakan lapangan kerja di sektor off-farm (industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa) rata-rata 3 orang tenaga kerja,” papar Rokhmin mengutip data dari FAO, Bappenas, dan IPB University.
Tak hanya itu. Perikanan budidaya adalah sistem usaha (bisnis) sumberdaya alam (SDA) terbarukan (living resources). “Maka, bila dikelola dengan inovasi Ipteks dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, akuakultur akan berlangsung secara berkelanjutan (sustainable development),” ujar Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
Rokhmin lalu menjelaskan strategi pembangunan perikanan budidaya untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan masyarakat Maluku utara secara berkelanjutan.
Pertama, revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability)-nya.
Kedua, ekstensifikasi usaha di lahan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); payau (udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun darat (nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).
Ketiga, diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. “Tidak kalah pentingnya, yang keempat, pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya,” ujar Rokhmin Dahuri.
Rokhmin berharap dengan data-data yang dia paparkan, bisa menggugah Pemerintah Maluku Utara, masyarakat Maluku Utara dan Pemerintah Pusat memaksimalkan potensi perikanan budidaya di Maluku Utara.