REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Negosiator perundingan nuklir Iran, Ali Bagheri dan kepala nuklir Iran Mohammed Eslami mengajukan tuntutan maksimal dalam perundingan nuklir di Wina yang sempat terhenti selama lima bulan. Media pemerintah Iran melaporkan, Bagheri menyebut putaran negosiasi sebelumnya sebagai 'rancangan'.
"Rancangan bisa dinegosiasi, tidak ada yang sudah disepakati kecuali semuanya sudah disepakati, pada dasarnya, semua diskusi yang dilakukan pada enam putaran perundingan disimpulkan dan menjadi subjek negosiasi, hal ini diakui oleh semua pihak yang rapat hari ini," kata Bagheri, Selasa (30/11).
Perundingan nuklir di Wina bertujuan mengembalikan Amerika Serikat (AS) ke Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dan memastikan Iran mematuhi ketentuan dalam perjanjian tersebut.
Mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan AS dari kesepakatan nuklir itu pada 2018 lalu dan menerapkan kembali sanksi-sanksi ke Iran. Teheran membalasnya dengan melanggar sejumlah ketentuan JCPOA seperti meningkatkan kemurnian uranium yang diperkaya.
Kini Iran memiliki sedikit uranium yang tingkat kemurniannya hingga 60 persen atau hampir ke tingkat uranium dapat dijadikan senjata yakni kemurnian 90 persen.
Iran juga memutar sentrifugal canggih yang dilarang dalam ketentuan JCPOA. Jumlah pasokan uraniumnya pun melampuai batas yang ditentukan perjanjian tersebut. Teheran meminta sanksi yang dijatuhkan kepada mereka dicabut sebagai syarat perundingan.
Presiden AS Joe Biden mengatakan Amerika bersedia melanjutkan perundingan.Tapi tidak ada pejabat pemerintah AS dalam putaran-putaran perundingan sebelumnya. Pernyataan Beghari juga bertentangan dengan pernyataan diplomat Uni Eropa yang memimpin perundingan di Wina.
"Delegasi Iran mewakili pemerintah baru di Teheran dengan kepekaan politik baru yang dapat dimengerti tapi mereka menerima apa yang sudah dilakukan dalam enam putaran pertama adalah dasar yang bagus untuk membangun pekerjaan kami ke depan, jadi tidak ada titik untuk kembali," kata Enrique Mora.
Perundingan Wina dilanjutkan pada Senin (29/11) kemarin setelah terhenti selama lima bulan untuk menunggu pemilihan presiden dan Ebrahim Raisi berkuasa. Ulama garis keras yang merupakan murid Ayatollah Ali Khamenei itu mendesak agar AS mencabut sanksi-sanksinya. n Lintar Satria/AP