REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan tidak dapat membayar 28.000 karyawannya tepat waktu bulan ini, Selasa (30/11). Keterlambatan itu akibat krisis pendanaan besar.
"Kebutuhan kemanusiaan pengungsi Palestina terus meningkat sementara dana untuk badan tersebut mengalami stagnasi sejak 2013," kata Lazzarini.
Lazzarini mengatakan kepada wartawan di Yordania bahwa dimulainya kembali dukungan Amerika Serikat (AS) untuk badan tersebut tahun ini diimbangi oleh pengurangan dana oleh donor lain. Badan tersebut juga mengalami krisis manajemen pada 2019, ketika kepala sebelumnya mengundurkan diri di tengah tuduhan pelanggaran seksual, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang lainnya di UNRWA.
Staf pun melakukan pemogokan kerja pada Senin (29/11). Aksi itu dilakukan setelah mendapat kabar pada pekan lalu bahwa gaji akan ditunda dan pemogokan bisa dihentikan usai meditasi.
"Jika layanan kesehatan UNRWA terganggu di tengah pandemi global, peluncuran vaksinasi Covid-19 akan berakhir. Perawatan ibu dan anak akan dihentikan, setengah juta anak perempuan dan laki-laki tidak tahu apakah mereka dapat terus belajar, dan lebih dari dua juta pengungsi Palestina yang paling miskin tidak akan mendapatkan uang tunai dan bantuan makanan,” kata Lazzarini.
Lazzarini mengatakan UNRWA mengumpulkan sumbangan yang cukup pada konferensi baru-baru ini di Brussels untuk menutupi hingga 48 persen dari anggarannya pada 2022 dan 2023. Acara itu juga menghasilkan 60 juta dolar untuk mencukupi kekurangan 100 juta dolar AS hingga akhir tahun agar menjaga layanan tetap berjalan.
"Saya masih belum dalam posisi untuk mengatakan kapan gaji November akan dibayarkan," kata Lazzarini.
UNRWA menjalankan sekolah, klinik, dan program distribusi makanan untuk jutaan pengungsi Palestina yang terdaftar di Timur Tengah. Mereka membantu keturunan orang Palestina yang melarikan diri atau diusir dari tempat yang sekarang disebut Israel selama perang 1948.
Sebanyak 5,7 juta pengungsi sebagian besar tinggal di kamp-kamp. Tempat pengungsian itu telah diubah menjadi daerah pemukiman yang dibangun tetapi sering miskin di Tepi Barat yang diduduki Israel, Yerusalem timur dan Gaza, serta Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Kritikus UNRWA, termasuk Israel, menuduhnya mengabadikan krisis pengungsi selama 73 tahun. Menurut mereka negara tuan rumah harus menanggung beban untuk menyerap mereka.
Palestina mengatakan para pengungsi dan keturunanya memiliki hak untuk kembali ke rumah di tempat yang sekarang disebut Israel. Israel menolak itu dengan mengatakan bahwa jika hak seperti itu diterapkan sepenuhnya, itu akan membuat negara itu berpenduduk mayoritas Palestina.