REPUBLIKA.CO.ID, TELAVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennet mendesak negara-negara besar untuk mengambil sikap yang lebih tegas pada Iran dalam negosiasi nuklir di Wina. Hal ini Bennett sampaikan kepada pejabat tinggi pertahanan dan intelijen Israel sebelum berangkat ke Washington untuk membahas perundingan tersebut.
"Saya mengajak semua negara yang bernegosiasi dengan Iran di Wina untuk mengambil garis keras dan menegaskan pada Iran mereka tidak bisa memperkaya uranium dan bernegosiasi di waktu yang sama," kata Bennett pada kabinetnya seperti dikutip Aljazirah Ahad (5/12) kemarin.
"Iran harus mulai membayar harga atas pelanggaran-pelanggaran ini," tambahanya.
Mantan Presiden AS Barack Obama menjadi garda depan kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang bertujuan menghentikan program atom Iran. Sebagai gantinya negara-negara Barat dan PBB mencabut sanksi-sanksi mereka pada Teheran. Namun mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan AS dari kesepakatan itu.
Trump kemudian menerapkan kembali sanksi-sanksi pada sektor perminyakan dan keuangan Iran yang mempersulit perekonomian negara itu. Teheran membalasnya dengan melanggar sejumlah ketentuan JCPOA.
Di era Joe Biden, pemerintah AS mencoba membukan perundingan. Namun perundingan untuk mengembalikan AS ke kesepakatan itu terhenti lima bulan.
Pekan lalu negosiasi itu dimulai kembali, meski sempat dihentikan setelah berjalan selama lima hari. Negosiator Eropa dan Amerika kecewa dengan posisi Iran dan mempertanyakan apakah perundingan tersebut akan berhasil.
Sementara Israel menolak kesepakatan nuklir yang ditandatangani 2015 lalu. Mereka mengatakan kesepakatan itu tidak melangkah terlalu jauh untuk menghentikan program nuklir Iran dan tidak membahas aktivitas militer negara itu di kawasan. Mereka menolak kembali ke JCPOA dan mendorong agar langkah diplomasi diiringi dengan tekanan militer ke Iran.