REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di bawah Sayyidina Ali bin Abi Thalib (656-661 M), pusat pemerintahan Islam berada di Kufah, Irak yang keluar dari jazirah Arab. Di sini, Islam disambut juga sebagai kekuatan pembebas (liberating forces) dari penindasan Kekaisaran Persia.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah menjelaskan pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah disebabkan beberapa faktor. Berikut faktor-faktornya.
Pertama, jika ditinjau dari kepentingan agama sebagai upaya menjaga secara intensif keutuhan ajaran ketahidan Islami karena wilayah ini sebagai sentra berkembangnya ajaran kemusyrikan yang telah berakar dalam dan lama, yakni pengaruh ajaran Politheisme dan Zoroaster.
Kedua, secara geopolitik pemindahan pusat pemerintahan tersebut karena wilayah Irak atau Mesopotamia merupakan bagian dari wilayah yan disebut fertile cressent area (wilayah bulan bintang yang subur di Timur Tengah).
Ketiga, ditinjau dari kepentingan niaga, Irak memiliki pelabuhan niaga lebih ramai dikunjungi para wirausahawan dari negara penghasil rempah-rempah Nusantara Indonesia. China dan India sebagai penghasil tekstil serta komoditi lainnya.
Sedangkan posisi Madinah ke arah Barat jika ditinjau dari India, Cina, dan Asia Tenggara. Adapun posisi Irak lebih ke Timur dan menghadap ke Teluk Persia dan Laut Arabia serta Samudera Persia atau Samudera Hindia sekarang.
Dengan pemindahan pusat kekuasaan ke Kufah, hal ini menjadikan jalan niaga melalui laut dan darat semakin terbuka. Tidak dapat disangkal lagi jika pada masa Khalifah Usman bin Affan dinyatakan dalam sejarah telah melakukan kontak niaga dengan Cina dan Nusantara. Sedangkan pada masa Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjadi lebih ramai hubungan niaga tersebut.