Senin 13 Dec 2021 21:36 WIB

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Naik Dua Kali Lipat Saat RUU TPKS Maju Satu Langkah

Kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.500 kasus hingga September 2021.

Red: Andri Saubani
Sejumlah aktivis perempuan  Korps HMI-Wati menggelar aksi stop kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di Lhokseumawe, Aceh, Kamis (9/12/2021). Dalam aksi tersebut mereka memprotes kejahatan pelecehan seksual yang masih sering terjadi terhadap perempuan serta mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan pelecehan seksual.
Foto: ANTARA/Rahmad
Sejumlah aktivis perempuan Korps HMI-Wati menggelar aksi stop kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di Lhokseumawe, Aceh, Kamis (9/12/2021). Dalam aksi tersebut mereka memprotes kejahatan pelecehan seksual yang masih sering terjadi terhadap perempuan serta mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan pelecehan seksual.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Nawir Arsyad Akbar

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding pada 2020. Melalui siaran pers, Jakarta, Senin (13/12), Andy mengatakan, kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021.

Baca Juga

"Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy.

Menurutnya, darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstrimnya kasus. Tetapi, justru karena daya penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah.

"Kesulitan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan inilah menjadi dasar pemikiran RUU TPKS," tambahnya.

Sementara Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Sulityowati Irianto menambahkan, bahwa Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada praktiknya justru banyak kebijakan daerah yang diskriminatif dan berlawanan dengan kebutuhan masyarakat.

Selain itu, literasi hukum masyarakat Indonesia pun masih kurang sehingga terdapat banyak problematika dalam proses pembuatan produk hukum. Prof. Sulistyowati mengatakan, masyarakat masih banyak miskonsepsi terkait isi dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.

Dia menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketiadaan persetujuan dan relasi kuasa dan dua unsur tersebut yang perlu ditekankan dalam rangka menghapus kekerasan seksual. Sementara, normalisasi kekerasan seksual terjadi karena masyarakat kurang peka terhadap isu-isu kekerasan yang dialami perempuan sehingga menghambat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Berbicara terpisah, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan mengatakan, munculnya beragam kasus kekerasan seksual belakangan menjadi momentum RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk segera disahkan.

"Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS, karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional," kata Farhan, Senin.

Farhan mengambil contoh kasus kekerasan seksual oleh seorang guru di salah satu pesantren di Bandung, Jawa Barat, menurutnya, pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya.

"Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut. Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," katanya lagi.

Ia menilai kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat, sehingga tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS. Para pelaku kekerasan seksual, menurut dia, tidak hanya harus dijerat hukuman maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan.

Lebih dari itu, mobilitas fisik maupun mobilitas sosial mereka juga perlu dibatasi. Sebab, dampak perbuatan pelaku merusak kondisi sosial para korban.

"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang pula," ujar Farhan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement