Rabu 29 Dec 2021 04:06 WIB

Pembentukan Partai Buruh Disebut Bawa Angin Segar

Menurut dia, gerakan buruh sebenarnya menyimpan kekuatan yang dahsyat.

Aksi buruh dari berbagai daerah di Jawa Barat, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (28/12). Aksi tersebut menolak ketetapan UMK 2022. Buruh berharap kenaikan Upah di tahun 2022.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Aksi buruh dari berbagai daerah di Jawa Barat, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (28/12). Aksi tersebut menolak ketetapan UMK 2022. Buruh berharap kenaikan Upah di tahun 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai, kehadiran Partai Buruh yang digagas oleh Said Iqbal dan kawan-kawan membawa angin segar dalam kancah perpolitikan tanah air. 

"Partai Buruh dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sudah jenuh bahkan muak dengan polarisasi cebong-kadrun di tengah partai-partai yang hari ini bercorak elitis dan cenderung dikuasai oligarki," ujar R Haidar Alwi, Selasa (28/12).

Baca Juga

Menurut dia, gerakan buruh sebenarnya menyimpan kekuatan yang dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021, sebanyak 139,81 juta orang atau lebih dari separuh populasi Indonesia merupakan angkatan kerja. Sekira 78,14 juta di antaranya bekerja di sektor informal dan sisanya 61,67 juta bekerja di sektor formal.

Gerakan buruh memang belum terorganisir menjadi satu kekuatan yang terpadu secara politis, sehingga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan elite tertentu dan menjadi penyangga partai politik tertentu. Baik ketika momentum pemilu maupun ketika memprotes kebijakan pemerintah yang berkuasa. Hal ini menjadi catatan penting bagi gerakan buruh yang besar namun belum mencapai kemandiriannya.

"Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya, tidak mengherankan bila buruh menjadi rebutan partai politik khususnya saat pemilu. Namun, mau sampai kapan buruh dimanfaatkan? Mau sampai kapan buruh menumpang pada partai yang sesungguhnya tidak berpihak pada buruh? Sudah waktunya buruh menjadi penyeimbang tata kelola pemerintahan dengan terjun langsung ke politik melalui partainya sendiri yaitu Partai Buruh," ujar R Haidar Alwi.

Partai Buruh bukanlah partai baru di Indonesia. Menghadapi pemilu 1999 pascakeruntuhan Orde Baru, sejumlah pemimpin organisasi buruh telah membangun partai politik. Ada Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Walaupun tidak menamakan langsung dirinya sebagai partai buruh, basisnya sudah lama dibangun lewat kerja politik bawah tanah semasa orde baru berkuasa.

Akan tetapi mereka tidak mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 1999. Kegagalan ini pun berlanjut pada pemilu 2004 dan 2009. Sedangkan pada pemilu 2014 dan 2019 tanpa Partai Buruh, suaranya malah terpecah karena mendukung calon presiden tertentu.

"Kenapa mereka gagal padahal kekuatannya sangat besar? Masalahnya adalah karena mereka tidak bersatu, tapi terpecah-pecah akibat konflik internal dalam tubuh gerakan buruh itu sendiri. Lalu siapa yang diuntungkan dari perpecahan buruh? Ya partai politik lain yang mengiming-imingi buruh dengan penitipan aspirasi," klaim R Haidar Alwi.

Oleh karena itu, pengalaman membangun partai dan mengikuti pemilu sudah sepatutnya dijadikan pelajaran berharga bagi gerakan buruh. Kegagalan yang pernah terjadi perlu dievaluasi untuk mempersiapkan gerakan yang lebih matang. Alih-alih membunuh semangat gerakan buruh dalam berpolitik, justru semangat tersebut diperlukan untuk mendorong agar imajinasi kekuatan buruh dapat hidup kembali.

"Strategi yang perlu dilakukan untuk menyatukan suara buruh adalah dengan melakukan konsolidasi nasional untuk bersatu. Seluruh aktivis buruh yang tersebar di berbagai serikat dan kota harus duduk bersama merumuskan tujuan untuk mengawali langkah membesarkan Partai Buruh. Konsolidasi ini penting untuk mengikis fragmentasi antar organisasi buruh. Alih-alih berpecah karena faktor egoisme elite buruh, harusnya gerakan buruh melakukan kerjasama politis," kata R Haidar Alwi.

Baru-baru ini, Norwegia yang merupakan negara demokratis di dunia, pemilunya dimenangkan oleh Partai Buruh. Lebih heroik lagi adalah bagaimana seorang Lula da Silva, seorang aktivis buruh yang tak lulus Sekolah Dasar (SD) berhasil memenangkan pemilu di Brasil dengan angka meyakinkan sebesar 61,27%. Dua periode kepemimpinannya, Lula Da Silva bahkan dianggap sebagai presiden paling sukses dalam sejarah Brasil.

"Ingat, kesejahteraan buruh hanya bisa diperjuangkan secara maksimal oleh buruh itu sendiri. Kenaikan upah, delapan jam kerja, THR, jaminan sosial, cuti melahirkan dan lain-lain semuanya bisa dinikmati bukan karena kebaikan korporasi dan partai politik lainnya, tapi melalui perjuangan yang berdarah-darah. Bayangkan perubahan besar yang akan dicapai jika buruh terlibat langsung dalam pemerintahan melalui partainya sendiri. Partai Buruh, the real partai wong cilik," kata R Haidar Alwi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement