REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) resmi mengukuhkan Majelis Masyayikh yang terdiri dari sembilan orang kiai pesantren. Kebijakan ini pun memicu pro dan kontra.
Salah satu anggota Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghoffarrozin mengatakan, Majelis Masyayikh ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, yang bertujuan untuk menjembantani pemerintah dan pesantren.
“Majelis Masyayikh ini untuk menjembatani pemerintah dan pesantren secara substantif dan administratif,” ujar Gus Rozien kepada Republika.co.id, Senin (3/12).
Ketua Rabhithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) ini menjelaskan, sembilan anggota Majelis Masyayikh tersebut nantinya akan bekerja berdasarkan undang-undang tersebut. Di antanya, akan menetapkan kerangka dasar beserta struktur kurikulum di pondok pesantren.
Kemudian, anggota juga akan memberikan pendapat kepada Dewan Masyayikh perihal penentuan kurikulum pondok pesantren, dan merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren.
“Kemudian juga akan merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan, yaitu melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu,” ucap Gus Rozien.
Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen yang keanggotaannya berasal dari Dewan Masyayikh. Mekanisme pemilihan Majelis ini dilakukan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang berasal dari unsur pemerintah, asosiasi pesantren berskala nasional.
Majelis Masyayikh ini diharapkan bisa meramu, mensinergikan, dan menyajikan pesantren yang sangat beragam di Indonesia. “Harapannya MM ini dapat mengorkestrasi pesantren yang sangat beragam, sekaligus menjaga kekhasan pesantren di tengah semangat kuat negara yang ingin hadir untuk pesantren,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda ini.
Sementara itu, keputusan ini dianggap tak tepat sebab, Menag hanya memilih sembilan orang dari 17 orang kompisisi yang disarankan oleh Ahlul Halli wa Aqdi (AHWA).
Presiden Pengasuh Pesantren Indonesia (P21), Dr KH M Tata Taufik, menduga Menag tampak belum atau tidak membaca UU 18/2019 tentang Pesantren dan turunannya, termasuk keputusannya sendiri yaitu Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 31/2020.
Baca juga: Hikmah Mengapa Alquran Kisahkan Keburukan Kaum Yahudi?
Dia meminta agar Menag membaca lagi dengan benar dan teliti, apa itu asas proporsionalitas dan bagaimana kaitannya dengan tugas dan cakupan MM.
"Kami terlibat dalam perumusan mulai dari UU Pesantren, hingga PMA dan juknis-juknisnya, kami paham maksud pasal-pasal itu, bukan seperti yang dipahami Dirjen, keliru itu" kritik Pengasuh PP Al-Ikhlash Kuningan itu dalam keterangannya, Sabtu (1/1).