REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Gusti Abdul Muis, sosok pemimpin Muhammadiyah yang menjadi panutan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan.
Selain dikenal sebagai seorang ulama, dia juga dikenal sebagai seorang aktivis, cendikiawan, dan pejuang di Kalimantan Selatan. Dia pernah menjabat sebagai pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.
KH Abdul Muis adalah seorang pemikir muslim yang sangat tertarik dengan bidang tasawuf. Karena itu, dalam kesehariannya, ulama karismatik ini dikenal sangat sederhana dan tawadhu atau rendah hati.
Dalam bidang tasawuf, Kiai Abdul Muis membahas seputar syariat, tarekat, hakikat, makrifat, maqamat, dan tasawuf sunni. Menurutnya, tasawuf bertitik tolak dari ajaran Islam dan dia lahir sejak mulanya karena dorongan cinta dan peningkatan takwa kepada Allah ﷻ yang dipelopori oleh para ulama fuqaha maupun hadits tafsir dan tauhid.
Kiai Abdul Muis menjelaskan bahwa yang meletakkan dasar-dasar tasawuf sunni adalah Al Qusyairi, dia menghendaki agar ajaran tasawuf tetap sesuai dengan tuntutan Alquran dan hadits.
Kemudian Al Ghazali meneruskan ide-ide tersebut, yaitu membawa tasawuf kepada fakta-fakta dasar dan sejarahnya sebagaimana sumber yang terdapat dalam Alquran dan hadits.
Menurut dia, Al Ghazali berusaha keras mengembalikan ajaran sufi kepada sumber aslinya, yaitu Alquran dan sunnah. Tujuan Al Ghazali mencari penyelesaian masalah kerohanian pribadinya sendiri dalam mencari kebenaran, tetapi dalam usahanya itu dia telah berhasil menolong ribuan orang lain, dalam usaha mereka dalam mencari kebenaran yang sama.
Kiai Abdul Muis mengatakan, kebenaran itu ditemukannya pada cara hidup sufi yang diterapkan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Menurut dia, Al Ghazali telah berhasil menyelaraskan antara ajaran tasawuf dengan syariat.
Menurut dia, syariat adalah kumpulan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah ﷻ yang diturunkannya kepada manusia melalui Nabi dan Rasulullah. Tarekat adalah sikap hidup terhadap suruhan-suruhan dan larangan-larangan Allah ﷻ, kemudian diamalkan secara ikhlas dalam rangka mematuhi yang disuruh dan menjauhi yang dilarangnya. Sedangkan hakikat adalah pandangan batin terhadap semua hal, lalu menyaksikan bahwa semua hal itu datangnya dari Allah ﷻ.
Kiai Abdul Muis menghendaki adanya keselarasan ketiga tersebut. Bagi siapa saja yang berjalan menuju akhirat harus melalui tiga jalan itu, tidak boleh mengabaikan dan memisahkan salah satu dari ketiganya, karena hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah kosong melompong.
Selanjutnya, dia mengemukakan firman Allah dalam surat Al Fatihah ayat 4 yang artinya:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ “Hanya kepada engkau kami menyembah dan kepada engkau kami mohon pertolongan”.
Menurut dia, ayat tersebut menjelaskan tentang hakikat, karena seorang hamba tidak akan sempurna perbuatannya kecuali dengan pertolongan Allah. Jadi, bagi setiap hamba harus mengamalkan seluruh perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya.