REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko menanggapi isu pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 33 anak buah kapal (ABK) di Kapal Riset (KR) Baruna Jaya pascaintegrasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ke BRIN. Handoko menyebut, ke-33 ABK tersebut merupakan tenaga kerja alih daya dari penyedia atau pihak ketiga dan bukan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) BPPT.
"Kualifikasi dan fungsi tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan penyedia ini bervariasi, mulai dari nakhoda hingga pelayan," kata Handoko dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (6/1).
Dia mengatakan, ke depan perawatan dan pengoperasian kapal riset akan dilaksanakan melalui perusahaan manajemen armada (fleet management) yang berpengalaman. Perusahaan pengelolaan armada tersebut harus memiliki reputasi tinggi dalam pengoperasian kapal dalam lingkup nasional.
"Fleet management ini akan bertugas untuk menyediakan ABK, melakukan operasional, dan perawatan kapal riset agar selalu siap sedia melayani riset," ucap Handoko.
Selain itu, kata dia, ABK yang disediakan juga akan memenuhi standar keamanan dan keselamatan, serta tersertifikasi sesuai dengan kelasnya. Handoko menuturkan, proses pengadaan fleet management itu sedang berlangsung secara kompetitif melalui proses lelang terbuka.
Dalam skema tersebut, BRIN memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para ABK non-pegawai negeri sipil (PNS) untuk melamar kembali sebagai ABK Kapal Riset BRIN. Para ABK non-PNS, menurut Handoko, tidak hanya bisa melamar untuk bekerja di kapal-kapal eks-BPPT, tetapi seluruh kapal riset BRIN, melalui perusahaan fleet management yang memenangkan lelang.
Handoko menegaskan, integrasi lembaga riset di Indonesia ke dalam BRIN merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN.