REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Perdana Menteri Kamboja Hun Sen disambut oleh pengawal kehormatan dan karpet merah di Myanmar pada Jumat (7/1). Kedatangannya itu menuai protes oleh penentang kudeta di bagian lain negara itu karena khawatir perjalanan ini akan memberikan lebih banyak legitimasi kepada junta.
Pengunjuk rasa membakar poster perdana menteri Kamboja dan meneriakkan "Hun Sen jangan datang ke Myanmar. Kami tidak ingin diktator Hun Sen". Ada juga laporan protes di kota kedua Mandalay dan wilayah Tanintharyi dan Monywa.
Aktivis terkemuka di Myanmar Min Ko Naing mengatakan dalam sebuah unggahan media sosial bahwa Hun Sen akan menghadapi protes besar-besaran atas kunjungannya, yang akan merugikan ASEAN.
Deputi Direktur Regional Amnesty International untuk Penelitian Emerlynne Gil mengatakan, perjalanan itu berisiko mengirim pesan beragam kepada pemimpin militer Myanmar. Hun Sen seharusnya memimpin ASEAN ke tindakan tegas untuk mengatasi situasi hak asasi manusia yang mengerikan"di negara itu.
Kunjungan dua hari Hun Sen untuk melakukan pembicaraan dengan penguasa militer Myanmar. Tindakan ini adalah yang pertama oleh seorang kepala pemerintahan sejak tentara menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari tahun lalu, yang memicu protes berbulan-bulan dan tindakan keras berdarah.
Hun Sen akan bertemu dengan pemimpin militer Min Aung Hlaing, tetapi Radio Free Asia yang didanai Amerika Serikat mengutip juru bicara junta yang mengatakan dia tidak akan bertemu Suu Kyi. Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan diadili dengan selusin tuduhan yang membawa kombinasi hukuman maksimum lebih dari 100 tahun penjara.