Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Di awal Januari ini pemerintah mengejutkan kelompok orang tua dengan mengumumkan kebijakan Pendidikan Tatap Muka (PTM) 100 persen. Artinya, semua anak di kelas harus sekolah di sekolah.
Kekhawatiran learning loss menjadi concern utama pemerintah. Sesuatu yang sangat saya pahami sebagai orang tua, meski harus menerima kebijakan tersebut dengan berat hati dan perasaan cemas.
Ketika pemerintah mengutarakan kebijakan PTM 100 persen, varian Omicron sedang berkecamuk. Buat saya pribadi faktor itu jad ketakutan utama. Varian baru, munculnya di akhir tahun pula, momen di saat mobilitas meningkat yang bisa menyebabkan kenaikan kasus Covid-19 pula.
Omicron juga saat pertama muncul kerap disebut-sebut sebagai varian yang tidak semembahayakan varian Delta. Gejala penderita Omicron juga tergolong ringan. Faktor tersebut membuat orang lebih berani berhadapan dengan Omicron, karena sebagian besar orang sudah divaksin hingga gejala covidnya tidak seberbahaya saat varian Delta menyerang di momen laju vaksinasi sedang dikebut.
Plus sejumlah epidemiolog juga sudah memperkirakan gelombang kasus tahun baru, meski tinggi, tidak akan semengerikan tengah tahun lalu. Alasannya jelas, masyarakat sudah divaksin.
Ikatan Dokter Indonesia melalui Ketua Satgas Covid-19 Prof Zubairi Djoerban namun tetap meminta masyarakat untuk tidak meremehkan varian Omicron meskipun gejalanya ringan. IDI beralasan, ketika kasus meledak tetap saja rumah sakit akan penuh.
"Jangan remehkan Omicron meski gejalanya ringan. Ketika kasus meledak, tetap saja rumah sakit akan penuh. Fasilitas kesehatan terganggu dan PTM 100 persen yang baru mulai bisa tertunda lagi, " kata Zubairi, Ahad (9/1/2022).
Saat ini, faktanya jumlah kasus positif Covid-19 selalu melebihi jumlah orang sembuh dari Covid-19. Bila kondisi seperti ini terus terjadi bukan tidak mungkin rumah sakit akan kembali penuh. Apa yang terjadi? Beban ke fasilitas kesehatan di Indonesia akan terjadi karena pasien yang dating melebihi kapasitas.
Berdasarkan hasil whole genome sequencing atau WGS, hingga Sabtu (8/1/2022), sudah terdapat 414 kasus konfirmasi Omicron. Terdapat penambahan 75 kasus pada Sabtu.
Dari 414 orang, sebanyak 31 orang dengan kasus transmisi lokal. Sisanya merupakan pelaku perjalanan luar negeri. Selain itu, kebanyakan dari yang terinfeksi Omicron adalah mereka yang sudah divaksinasi lengkap.
Baca juga : Pemerintah Tingkatkan Vaksinasi Covid Anak Usia 6-11 Tahun
Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Secara kumulatif kasus paling banyak berasal dari Turki dan Arab Saudi. Sebanyak 99 persen kasus Omicron yang diisolasi memiliki gejala ringan atau tanpa gejala. Lalu 97 persen kasus didominasi oleh pelaku perjalanan luar negeri dan berasal dari Provinsi DKI Jakarta. Pada kasus yang dirawat 1 persen membutuhkan terapi oksigen.
Memang kesannya ringan ya. Gejala yang paling umum muncul adalah batuk, pilek, hingga sakit tenggorokan. Sangat mirip dengan flu biasa.
Tapi yang perlu jadi catatan, menurut saya, adalah fakta bahwa penderita Omicron sudah divaksin dosis lengkap. Di luar negeri, kasus kematian Omicron terjadi pada mereka yang belum divaksin. Meski tidak jelas belum divaksinnya sama sekali atau baru divaksin satu dosis.
Kembali ke soal PTM, mengejar ketinggalan akibat learning loss memang sangat penting. Bangsa ini bergantung pada generasi penerusnya untuk bisa membangun dan mengembangkan Negara.
Tapi menunggu sampai vaksinasi rampung dua dosis juga tidak salah. Anjuran PTM 100 persen seperti disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah dilakukan saat anak sudah divaksinasi dua dosis. Sejumlah epidemilog juga berkata hal serupa. Menunda PTM hingga guru, tenaga pendidik, dan anak sudah divaksinasi dosis lengkap.
Baca juga : Moeldoko: Stok Vaksin Booster Cukup dan tidak Kedaluwarsa
Anak-anak harus dilindungi agar tidak terkena Covid-19 karena faktor sindrom inflamasi multisistem (MIS-C) yang bisa terjadi pada anak yang positif covid. Gejala MIS-C termasuk peradangan berbagai organ, yang bisa ditangani, namun dapat juga berakibat fatal.
MIS-C bisa ditangani jika terdeteksi cukup dini. Namun, ini adalah penyakit eksklusi hingga diagnosisnya menjadi sulit. Apalagi, anak-anak positif Covid-19 yang mengalami MIS-C terkadang tidak menunjukkan gejala, tanpa memperlihatkan tanda-tanda bahwa infeksi telah terjadi.
MIS-C terjadi pada 1:1.000.000 anak. Mengutip dari halaman Instagram mantan Ketua IDAI, dr Aman Pulungan, di Indonesia setidaknya sudah terdeteksi puluhan anak dengan efek jangka panjang sindrom peradangan multisistem ini.
MIS-C merupakan suatu kondisi langka dan ekstrem dari respons sistem imun tubuh terhadap serangan virus corona. Hal itu bisa menyebabkan kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, darah, dan otak. Anak yang menderita MIS-C harus dirawat di rumah sakit. MIS-C juga tidak bisa dicegah, satu-satunya cara pencegahannya adalah dengan memastikan anak tidak terpapar Covid-19 dan sudah divaksinasi lengkap.
Baca juga : Masyarakat yang Penuhi Syarat Booster Diminta Datangi Sentra Vaksinasi
Karena itu setidaknya beri kesempatan anak tervaksinasi lengkap lebih dulu sebelum membuka sekolah dengan kapasitas 100 persen. Saat sekolah dan pemerintah memaksakan sekolah harus dibuka, lalu anak terpapar Covid-19, 100 persen yang akan repot adalah orang tua. Efek jangka panjangnya juga yang akan merasakan adalah anak.
Biar selamat meski terlambat tidak salah jadi mantra soal PTM 100 persen ini bagi saya. Mungkin juga bagi banyak orang tua di Tanah Air.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id