REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Para ulama ahli fikih saling berbeda pendapat mengenai air yang telah digunakan untuk bersuci. Ketentuan hukum mengenai air yang telah digunakan untuk bersuci itu pun ditetapkan secara berbeda.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan bahwa dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari ulama. Ada ulama yang membolehkannya secara mutlak, seperti Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah. Disebutkan bahwa diperbolehkan wudhu dengannya, karena itu adalah isti’mal yang tidak mengubah sifat air.
Namun demikian, ada pula ulama yang menghukuminya makruh. Mereka tidak memperbolehkan tayamum, sepanjang masih ada air seperti ini. Dan ada pula ulama yang membedakan air seperti ini dengan air mutlak. Inilah pendapat Abu Tsaur dan Dawud berikut murid-muridnya. Sedangkan Abu Yusuf menganggap bahwa pendapat ini aneh, katanya air seperti itu najis.
Adapun pangkal perbedaan mereka dalam masalah ini lagi-lagi terletak pada apakah air seperti itu masih bisa disebut air mutlak ataukah tidak. Disebutkan bahwa sesungguhnya beberapa sahabat biasa memperebutkan sisa air wudhu Nabi SAW, padahal jelas air itu adalah air yang sudah digunakan.
Tetapi air itu tetap bisa disebut air mutlak karena biasanya tidak sampai ada salah satu sifatnya yang berubah karena kotoran anggota tubuh yang dibasuh dengannya. Sekalipun terjadi, hukumnya tetap hukum air yang salah satu sifatnya berubah oleh sesuatu yang suci.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan para ulama yang menilainya makruh digunakan. Namun jika sampai air tersebut dianggap najis, sama sekali tidak ada dalil yang menyebutkan demikian.