Selasa 18 Jan 2022 23:22 WIB

Bahaya Laten Pandemi yang Gagalkan Tujuan Menekan Kemiskinan

Meski angka kemiskinan menurun namun tidak bisa menyamai sebelum pandemi

Rep: Novita Intan/Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang warga bersantai di perkampungan kumuh tepi rel kereta api di Ancol, Pademangan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut angka kemiskinan Indonesia turun dari 27,54 juta orang pada Maret 2021 menjadi 26,5 juta orang pada September 2021.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Seorang warga bersantai di perkampungan kumuh tepi rel kereta api di Ancol, Pademangan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut angka kemiskinan Indonesia turun dari 27,54 juta orang pada Maret 2021 menjadi 26,5 juta orang pada September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asian Development Bank (ADB) menyebut pandemi Covid-19 mengancam akan menggagalkan kemajuan tujuan global untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan pada 2023. Hal tersebut mengingat sebanyak 80 juta orang di negara berkembang Asia masuk ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun lalu.

Berdasarkan pernyataan ADB seperti dikutip Selasa (18/1/2022) sebelum ada pandemi Covid-19 telah memprediksi tingkat kemiskinan ekstrem Asia dilihat dari proporsi penduduknya yang hidup dengan kurang dari 1,90 dolar AS per hari akan turun menjadi 2,6 persen pada 2020 dari 5,2 persen pada 2017. Hanya saja, krisis akibat pandemi kemungkinan bisa mendorong tingkat yang diproyeksikan tahun lalu lebih tinggi sebesar sekitar dua poin persentase.

Baca Juga

ADB bahkan mengakui angka itu bisa lebih tinggi mengingat ketidaksetaraan bidang-bidang seperti gangguan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang semakin dalam karena krisis Covid-19 yang mengganggu mobilitas dan menghentikan kegiatan ekonomi.

“Ketika dampak sosial ekonomi dari tanggapan terhadap virus terus berlanjut, orang-orang yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan berisiko terjerumus ke dalam kehidupan kemiskinan,” tulis ADB.

ADB mencatat di antara 46 negara berkembang dan tiga negara maju anggota ADB, perbandingannya hanya sekitar satu dari empat yang mencatat pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Hal ini dikarenakan tingkat pengangguran meningkat dengan kehilangan sekitar delapan persen jam kerja yang memengaruhi rumah tangga miskin dan pekerja di sektor informal.

Tak hanya ADB, lembaga internasional Bank Dunia memperkirakan khusus di Indonesia, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 3,7 persen pada 2021 dan sebesar 5,2 persen pada 2022. 

Laporan terbaru Bank Dunia berjudul A Green Horizon: Toward a High Growth and Low Carbon Economy, pada 2020 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) lebih dari dua persen. Hal ini menjadi catatan terburuk sejak 1998.

Pandemi yang ditanggulangi dengan pembatasan sosial membuat ekonomi Tanah Air lumpuh. Hal ini memicu orang kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin.

Pada Agustus 2021, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 7,07 persen atau tertinggi sejak 2010. Selepas itu, tingkat pengangguran memang turun tetapi belum bisa kembali ke bawah lima persen seperti masa pra-pandemi.

"Pendapatan pekerja yang hilang (labor income losses) tetap tinggi, terutama kelompok 40 persen rumah tangga terbawah. Menurut survei Bank Dunia, masih ada 45 persen rumah tangga yang mengalami penurunan pendapatan dibandingkan masa sebelum pandemi," tulis laporan Bank Dunia.

Pasar tenaga kerja yang terpukul membuat angka kemiskinan naik. Per Maret 2021, angka kemiskinan berada 10,14 persen atau turun dibandingkan Agustus 2020 sebesar 10,19 persen tetapi masih bertahan level dua digit.

Padahal baru pada 2018 Indonesia mampu menekan angka kemiskinan menjadi satu digit. Perjuangan bertahun-tahun hilang dalam hitungan bulan gara-gara pandemi.

Maka itu, Bank Dunia menyarankan pemerintah Indonesia berfokus untuk mengatasi empat tantangan utama. Pertama, mengendalikan pandemi. Kedua, mempertahankan kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif. 

Ketiga, meningkatkan ruang fiskal. Keempat adalah mempercepat reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Sehari sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kemiskinan pada bulan September 2021 tercatat 26,5 juta orang. Jumlah itu turun 1,04 juta orang dari posisi Maret 2021.

Kepala BPS, Margo Yuwono, mengatakan, dengan jumlah kemiskinan tersebut maka angka kemiskinan nasional tercatat 9,71 persen atau kembali ke level satu digit setelah sebelumnya meningkat di atas 10 persen akibat pandemi Covid-19.

Tren data BPS menunjukkan, angka kemiskinan nasional mulai turun ke  kisaran 9 persen mulai Maret 2018 di mana saat itu jumlah penduduk miskin sebanyak 25,95 juta jiwa.

Selanjutnya pada September 2020 angka kemiskinan kembali ke level dua digit menjadi 10,19 persen atau 27,55 juta jiwa. Memasuki Maret 2021 angka kemiskinan turun tipis menjadi 10,14 persen atau sebanyak 27,54 juta jiwa.

"Meskipun tren (penurunan) semakin bagus, tapi jika dibanding kondisi sebelum pandemi (2020-ke belakang) angkanya masih lebih tinggi," kata Margo dalam konferensi pers, Senin (17/1/2022).

Lebih lanjut, Margo menjelaskan, masyarakat yang disebut miskin yakni yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Pada September 2021, garis kemiskinan sebesar Rp 486.168 per kapita per bulan. Garis Kemiskinan itu mengalami kenaikan 2,89 persen dari posisi Maret 2021 lalu.

Margo menuturkan, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibanding peranan komoditas non makanan. Ia mencatat komoditas makanan menyumbang 74,05 persen terhadap garis kemiskinan sehingga komoditas non makanan menyumbang 25,95 persen.

"Jadi tugas pemerintah adalah bagaimana mengatur stabilitas harga makanan," kata Margo.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, pengendalian laju inflasi menjadi persoalan serius sekaligus tantangan terbesar dalam upaya menekan angka kemiskinan di tahun 2022. Pasalnya, sejumlah harga bahan pokok diprediksi mengalami kenaikan. 

Bhima mengatakan, kenaikan harga bahan pangan membuat daya beli kelompok rentan miskin mudah merosot ke bawah garis kemiskinan. Di saat harga-harga pangan akan mengalami kenaikan, pemerintah justru menurunkan sejumlah bantuan sosial di tahun ini. Bhima mengatakan, semestinya program ansos tidak dicabut secara buru-buru disaat inflasi masih menjadi ancaman.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement