Rabu 26 Jan 2022 16:11 WIB

Kerja Sama Polisi dan MUI Bisa Mereduksi Penyebaran Pemahaman Ekstremisme

Ekstrimisme dan radikalisme selalu mengkhawatirkan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Kerja Sama Polisi dan MUI Bisa Mereduksi Penyebaran Pemahaman Ekstrimisme. Foto: Aksi radikalisme (ilustrasi)
Foto: indianmuslimobserver.com
Kerja Sama Polisi dan MUI Bisa Mereduksi Penyebaran Pemahaman Ekstrimisme. Foto: Aksi radikalisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mewakili  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Brigjen Pol Umar Effendi menyebut kepolisian dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa bekerja sama dalam mereduksi penyebaran pemahaman ekstrimisme. Pencegahan akan aksi ekstrimisme dan terorisme disebut bukan lah suatu hal yang mudah.

"Halaqah Kebangsaan I adalah media komunikasi dan pendekatan antar umat, ulama, umaroh dalam upaya menjaga keamanan persatuan dan eksatuan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tema yang diusung, yaitu 'Optimalisasi Islam Wasathiyah Dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme'," ujar dia dalam kegiatan yang digelar BPET MUI, Rabu (26/1).

Baca Juga

Isu seputar ekstrimisme dan terorisme disebut akan selalu menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi perjalanan bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Sejarah mencatat rentetan aksi-aksi teror ini, seperti di Bali, Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan beberapa lokasi lainnya.

Ia lantas menyebut, ada hal yang berbeda dari aksi teror di Indonesia jika dibandingkan negara lain. Jika aksi teror di luar negeri dilakukan oleh orang dewasa dan kelompok kecil, namun di negara ini aksi tersebut bisa dilakukan dalam lingkup keluarga.

"Di Indonesia, ini sudah terjadi peristiwa teror ini satu keluarga lengkap. Bapak, ibu dan anak. Ini perlu menjadi perhatian kita. Di negara lain sepertinya belum ada," lanjutnya.

Karena itu, ia menyebut dalam upaya mencegah radikalisme dan ekstremisme, BPET bisa menyasar kelompok ibu-ibu yang menghabiskan waktu luangnya dengan berselancar di media sosial.

Konten yang disebarkan melalui media sosial disebut terbukti lebih efektif dalam menarik anggota, jika dibandingkan dengan metode pertemuan terbuka. Dari segi kuantitas, hasil rekrutmen dengan metode media sosial cukup mendominasi.

Brigjen Pol Umar menyebut pihaknya memiliki bukti dari beberapa kasus serangan teror yang terjadi, belum tentu pelaku pernah bertemu dengan perekrut atau yang mengajarkan ajaran ekstrem tersebut.

"Media sosial memiliki kerawanan lebih tinggi dibanding media konservatif, karena siapapun bisa menjadi penulis dan mengunggah apapun yang dia inginkan," ujar dia.

Selama periode 2021, Polri disebut telah mengamankan 392 terduga teroris yang terlibat dalam 26 kasus tindak pidana ekstremisme, di berbagai wilayah Indonesia. Di wilayah Sulawesi Selatan lebih dari 30 orang tertangkap, Jawa Timur 35 orang, Sumatera Utara 33 orang, DKI Jakarta 21 orang, Jawa Tengah 19 orang, serta Lampung 17 orang.

Lebih lanjut, ia menyebut ada beberapa jalan yang bisa dilakukan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI, dalam upaya mereduksi dan mengeliminasi penyebaran dan perkembangan pemahaman ekstrem, yang berujung pada aksi teror.

Optimalisasi Islam wasathiyah disebut menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh. Moderasi dalam beragama bisa dipahami dengan baik tanpa melanggar syariat agama. Contohnya, menerapkan cara pandang dan sikap kehidupan yang melindungi martabat kemanusiaan, serta membangun kemaslahatan umat dengan prinsip adil, imbang dan mentaati konstitusi.

"Kedua, mensyukuri kebhinekaa sebagai anugrah dari Allah SWT dan pentingnya wawasan kebangsaan dan keagamaan berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila," ujar Brigjen Pol Umar.

Selanjutnya, ia menyebut BPET MUI bisa ikut menjadi penggerak mengajak umat dalam mencegah berkembangnya paham radikalisme dan terorisme. Terakhir, selalu bertabayyun dan memfilter informasi yang diterima, sehingga tidak mudah terprovokasi atau ikut menyebarkan berita atau konten hoaks yang menyesatkan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement