REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura membantu Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk dapat memulangkan sejumlah buronan ke Tanah Air. Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Amir Yanto mengatakan, timnya sudah punya sejumlah data buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), dan terdeteksi berada di Negeri Singa.
Amir mengatakan, Kejagung menunggu proses ratifikasi perjanjian ekstradisi yang sedang berjalan saat ini agar menjadi landasan pemulangan para DPO tersebut untuk menjalani proses hukum. Namun, Amir mengaku, tak dapat menyebutkan daftar nama-nama buronan yang menjadi target pemulangan tersebut.
“Semua DPO jadi target untuk dapat diekstradisi, dan dieksekusi,” ujar Amir, kepada Republika, lewat pesan singkatnya kepada Republika, Kamis (27/1/2022).
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah juga menyampaikan, sudah meminta tim penyidik segera mendata sejumlah perkara-perkara penanganan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), baik dari masa lalu maupun yang sedang berjalan. Pendataan kasus-kasus kejahatan merugikan negara tersebut untuk mendeteksi sejumlah nama yang terlibat, tetapi berstatus buronan, dan terdeteksi ada di Singapura.
“Saya pastikan ada beberapa nama di sana (Singapura),” ujar Febrie di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Jakarta, Kamis.
Febrie mengatakan, dengan adanya perjanjian ekstradisi tersebut, proses hukum yang sudah dan yang sedang berjalan saat ini akan lebih mudah memulangkan buronan tersebut dari Singapura. “Sekarang, kita mulai akan merekapitulasi nama-nama DPO yang bisa dipulangkan dari sana (Singapura),” ujar Febrie.
Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi (Uheksi) Jampidsus Andi Herman menerangkan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura bukan cuma memprioritaskan pemulangan para buronan ke wilayah hukum tempat berperkara, melainkan persoalan perampasan aset-aset para terpidana yang sudah inkrah dinyatakan korupsi dan TPPU. Andi mencontohkan, upaya Jampidsus Kejagung untuk dapat merampas sejumlah aset milik para terpidana kasus korupsi, dan TPPU PT Asuransi Jiwasraya.
Dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp 16,8 triliun itu, Andi mengungkapkan, ada aset milik para terpidana yang terdeteksi berada di Singapura, tetapi tak dapat dirampas karena tak adanya saluran hukum kedua negara. “Tentunya, dengan adanya perjanjian ekstradisi ini, akan memberikan kemudahan. Baik dari masalah terpidana, maupun dalam soal penyitaan aset. Kita tahu ada beberapa aset yang penanganan perkaranya diduga disimpan di Singapura,” ujar Andi.
Andi menambahkan, akan menunggu hasil ratifikasi dari perjanjian ekstradisi tersebut. “Jadi kita sekarang sedang kumpulkan nama-nama buronan yang ditengarai ada di Singapura. Kita lakukan inventarisasi untuk bisa diekstradisi,” ujar Andi.
Indonesia, dan Singapura resmi menandatangani perjanjian ekstradisi, Selasa (25/1). Perjanjian tersebut diyakini mampu membuka pintu perburuan para buronan, atau DPO Indonesia, yang selama ini berlindung di Singapura.
Dengan perjanjian ekstradisi tersebut, pun akan semakin memudahkan aparat penegak hukum Indonesia, memulangkan para buronannya, yang selama ini menjadikan Singapura sebagai ‘surga’ pelarian dari jerat hukuman. Terutama, para buronan terlibat kasus-kasus korupsi.