REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti menegaskan pihaknya mendukung dilanjutkannya penyidikan kasus pemerkosaan terhadap perempuan difabel di Polres Serang Kota. Kasus ini sempat dihentikan karena pelaku menikahi korban dan pelapor mencabut laporan.
"Kompolnas menyambut baik dan mengapresiasi Polda Banten yang menindaklanjuti rekomendasi Kompolnas agar Bid Propam dan Wassidik memeriksa penyidik kasus perkosaan perempuan difabel di Polres Serang Kota yang telah menghentikan penyidikan atas dasar Restorative Justice," ujar Poengki kepada Republika, Senin (31/1).
Menurut Poengki, hasil dari pemeriksaan diketahui ada kekurangpahaman penyidik Polres Serang Kota dalam menerapkan keadilan restoratif berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Keadilan Restoratif. Karena itu, Polres Serang Kota membuka kembali penyidikan kasus asusila itu sesuai dengan rekomendasi gelar perkara khusus.
"(Gelar perkara khusus) dilakukan oleh Polres Serang Kota dengan asistensi dari Bidpropam Polda Banten, Bagian Pengawasan Penyidikan (Bagwassidik) Ditreskrimum Polda Banten, dan Bidang Hukum (Bidkum) Polda Banten," terang Poengki.
Lanjut Poengki, dengan dibukanya kembali penyidikan maka penyidik Satreskrim Polres Serang Kota wajib menyelesaikan pemberkasan terhadap dua tersangka perkara tersebut. Kemudian penyidik juga harus melakukan koordinasi intens dengan penuntut umum dari Kejaksaan Negeri untuk dapat menindaklanjuti pemberkasan perkara ini hingga ke tahap penuntutan dan persidangan.
"Kompolnas berharap kasus ini dapat menjadi pengetahuan bagi para penyidik lainnya yang menangani perkara serupa," harap Poengki.
Selain itu, Kompolnas juga berharap perlunya dibuat sebuah Pedoman bagi aparat kepolisian dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak. Serta pelatihan-pelatihan secara berkala agar dapat membuka mindset penyidik untuk sensitif terhadap hak asasi manusia dan gender.
Sebelumnya, Kompolnas mengkritisi penghentian penyidikan atas dasar restorative justice tersebut. Karena kasus perkosaan bukan delik aduan. Sehingga meski pelapor mencabut laporan, penyidikan kasus tetap harus berjalan. Kemudian restorative justice tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan. Apalagi ancaman maksimal kasus perkosaan adalah 12 tahun.
"Polisi sebagai agen perubahan harus mendidik masyarakat. Sehingga jika ada keinginan pihak pelapor dan tersangka untuk berdamai dengan cara mengawini perempuan korban perkosaan," papar Poengki.
Apalagi jika korban adalah seorang difabel, maka mindset berpikir penyidik harus sensitive gender. Tentunya dengan melindungi korban perkosaan agar tidak menjadi korban lagi. Serta perkawinan itu rentan digunakan untuk maksud terselubung.
"Menghindarkan diri dari ancaman pidana akibat memperkosa dan justru melukai perempuan lain yang menjadi istri pelaku," ucap Poengki.