Jumat 11 Feb 2022 20:04 WIB

Rusia: Pembicaraan Krisis Ukraina tak Membuahkan Hasil

Pertemuan empat negara membahas krisis Ukraina dijadwalkan Maret mendatang.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov. Rusia: Pembicaraan Krisis Ukraina tak Membuahkan Hasil
Foto: EPA
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov. Rusia: Pembicaraan Krisis Ukraina tak Membuahkan Hasil

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengatakan tak ada hasil yang tercapai setelah pertemuan format Normandia yang melibatkan Ukraina, Jerman, dan Prancis. Pertemuan keempat negara itu bertujuan mengakhiri krisis dan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina.

"Kita semua menyaksikan bagaimana pertemuan para penasihat politik kemarin dari Empat Normandia berakhir sama sekali tanpa hasil,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada awak media, Jumat (11/2), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Dia menyebut beberapa diplomat memiliki masalah saat membaca teks yang sangat singkat dan jelas dari Perjanjian Minsk 2015 antara Kiev dan Moskow tentang konflik di Donbass. “Sayangnya, Ukraina melakukan segalanya untuk tidak memenuhi komitmennya,” ujar Peskov.

Pemerintah Ukraina turut mengonfirmasi tentang belum adanya kesepakatan yang tercapai setelah pertemuan dalam format Normandia. “Kami tidak dapat menyepakati sebuah dokumen bersama,” kata negosiator Ukraina sekaligus ajudan Presiden Volodymyr Zelensky, Andriy Yermak.

Kendati demikian, dia menekankan, para pihak akan terus bekerja dan bertekad mencapai hasil. “Semua orang hari ini menyatakan kesetiaan mutlak pada gencatan senjata, terlepas dari kondisi apa pun,” ujar Yermak.

Jerman menyebut, pertemuan format Normandia berikutnya dijadwalkan digelar pada Maret mendatang. Format empat arah “Normandia” diluncurkan pada 2014.

Format pembicaraan itu diluncurkan untuk mengakhiri pertempuran antara pasukan Ukraina dan kelompok separatis yang didukung Rusia di Donbass. Hingga kini, ketegangan masih membekap wilayah tersebut.

Organisasi Pertahanan Atlantik Utara dan Amerika Serikat (AS) bahkan menyebut Rusia memiliki intensi menyerang Ukraina. Namun, Moskow berulang kali membantah anggapan tersebut.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan.

Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta.

Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina.

Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan dilaporkan sudah menelan korban lebih dari 13 ribu jiwa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement