REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sementara umat Muslim masih banyak yang mengambil kesimpulan bahwa seorang perempuan yang dalam masa iddah tidak boleh keluar dari rumah. Benarkah seperti itu?
Dalam sebuah hadis disebutkan, “An Jabir bin Abdillah RA yaqulu thulliqat khaalatiy fa-aradat an tajudda nakhlaha fazajaraha rajulun an takhruja fa-atati an-nabiyya SAW faqaala: ‘Bala, fajuddiy nakhlaki fa-innaki asa an tashaddaqiy aw taf’aliy ma’rufan,”.
Yang artinya, “Dari Jabir bin Abdillah RA, ia bercerita bahwa bibinya dicerai dan keluar rumah untuk memetik kurma. Di jalan, ia dihardik seseorang karena keluar rumah. Kemudian ia mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian yang menimpanya, Nabi pun berkata, ‘Ya, Anda (boleh keluar) untuk memetik kurmamu itu. Dengan demikian kamu bisa bersedekah atau berbuat baik (kepada orang dengan kurmamu itu),”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya.
Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW justru dengan tegas mempersilakan perempuan yang di masa iddah untuk keluar rumah melakukan sesuatu yang bisa memberi manfaat bagi dirinya atau orang lain. Inilah jawaban yang fundamental bahwa perempuan pada masa apapun tetap manusia utuh yang memiliki kewajiban untuk dirinya, pasangan, keluarga, dan juga lingkungannya.
Termasuk pada masa iddah ini, di mana kebanyakan orang menganggap perempuan harus memperhatikan relasinya dengan sang suami, dilarang keluar rumah, agar mudah bagi suami untuk kembali rujuk jika ia menghendaki. Namun dalam teks hadis di atas, perempuan justru tetap memiliki hak untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang sekitar.
Ustaz Faqih menyebut bahwa seharusnya pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas perempuan memikirkan hak-hak dasarnya. Sebagaimana juga laki-laki yang memiliki hak dasar manusia. Hal-hal yang bertentangan dengan hak-hak dasar, seharusnya tidak diterapkan pada perempuan, sebagaimana tidak pada laki-laki.