REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof Irfan Idris mengatakan, pihaknya dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan bekerjasama untuk merumuskan kriteria seorang teroris. Namun, dia menegaskan, tidak ada kriteria fisik yang digunakan dalam menentukan indikator teroris.
"Tidak ada kriteria fisik, karena kalau kita terjebak dengan kriteria fisik seperti bom Bali, bagaimana dengan yang di New Zealand, yang menembak mati orang yang mau Jumatan. Tidak ada kriteria itu," kata Irfan di Jakarta Selatan, Jumat (18/2).
Ia pun meminta masyarakat agar tidak terjebak dalam simbol fisik tertentu. Sebab, Irfan menegaskan, atribut maupun pakaian yang digunakan oleh teroris dalam melancarkan aksinya lantas tidak bisa disimpulkan sebagai simbol terorisme."Jangan masyarakat terjebak pada simbol fisik. Karena kebetulan yang melakukan itu menggunakan simbol itu, tidak bisa lantas semua yang berpakaian itu pasti teroris," jelas dia.
Selain itu, Irfan menyebut, kelompok teroris kerap kali menggunakan istilah-istilah keagamaan yang sering dipakai oleh masyarakat dalam menyebarkan ajaran radikal mereka. Dia pun menekankan pentingnya mencerdaskan warga agar tidak lantas memahami penggunaan istilah dalam kitab suci, sebagai tindakan yang mengarah pada teroris.
"Seperti kata hijrah itu ada di dalam Alquran, hijrah itu seperti apa. Hijrah itu transformasi dari yang baik ke yang lebih baik. Bukan Hijrah dari negara yang aman Indonesia ke negara yang konflik. Ini ada kecenderungan masyarakat memakai tren istilah seperti syari, hijrah dan lain sebagainya," ungkap dia.
"Masyarakat harus kita cerdaskan, bahwa tidak ada yang salah dengan istilah itu. Tetapi kemudian jika diarahkan kepada aksi untuk menimbulkan dan menyuburkan penanaman ujaran kebencian dan penyebaran permusuhan dibalik simbol itu, itu yang harus kita rumuskan bersama. Agar jangan ada stigma bahwa teroris ada simbol-simbolnya," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, BNPT menemui pimpinan MUI di Kantor MUI Pusat, Menteng, Jakarta, Kamis (3/2). Usai pertemuan itu, Ketua MUI Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Noor Achmad menyebut, diskusi antara kedua pihak bersifat dinamis dan ilmiah serta memiliki pandangan yang sama. Antara lain, perlu mengantisipasi dan juga terus mewaspadai adanya gerakan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme.
Selain itu, lanjutnya, ada beberapa hal yang disepakati bersama dalam diskusi tersebut. Salah satunya, yakni penggunaan diksi-diksi tertentu."Untuk penggunaan diksi-diksi yang dikhawatirkan melukai salah satu kelompok yang memang itu sudah digunakan dalam islam. Maka dari itu, kedepan penggunaan diksi, seperti pesantren, mahad, dan lain sebagainya, ini akan kita sesuaikan bersama-sama," ungkap Achmad.
Kemudian, Achmad melanjutkan, nantinya BNPT dan MUI juga bersama-sama akan merumuskan kaidah-kaidah dan kriteria kriteria seperti apa yang disebut dengan terorisme dan ekstrimisme saat ini."Dan yang diminta lagi adalah adanya kesamaan hak keadilan, bahwa BNPT itu adalah kekuatan negara, sehingga dengan demikian BNPT adalah untuk negara dan untuk bangsa Indonesia. Artinya antara MUI dan BNPT ke depan akan lebih mempererat kerjasamanya," jelas dia.