Selasa 22 Feb 2022 02:30 WIB

PCR Jadi Syarat Perjalanan dari Luar Negeri Harus Dipertahankan

Warga negara asing yang mau pergi maupun menuju Indonesia harus dengan tes PCR.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas kesehatan mengambil sampel untuk tes usap RT Polymerase Chain Reaction (PCR) di Skybridge, Bandara SMB II, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/11/2021). Untuk meringankan beban masyarakat yang hendak berpergian dan mendorong sektor perekonomian, per 27 Oktober lalu pemerintah secara resmi menetapkan tarif PCR tertinggi di Pulau Jawa-Bali sebesar Rp275 ribu dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa - Bali.
Foto: ANTARA/Feny Selly
Petugas kesehatan mengambil sampel untuk tes usap RT Polymerase Chain Reaction (PCR) di Skybridge, Bandara SMB II, Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/11/2021). Untuk meringankan beban masyarakat yang hendak berpergian dan mendorong sektor perekonomian, per 27 Oktober lalu pemerintah secara resmi menetapkan tarif PCR tertinggi di Pulau Jawa-Bali sebesar Rp275 ribu dan Rp300 ribu untuk luar Pulau Jawa - Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, menilai test PCR sebagai syarat perjalanan dari luar negeri tetap harus dipertahankan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya antisipasi masuknya Covid-19 ke dalam negeri.

"Harus kita lakukan baik yang mau masuk ke Indonesia harus tes PCR sebelum terbang dan setelah mendarat pun harus PCR. Itu adalah cara kita, screening kita untuk mempertahankan atau melindungi warga negara dari kemungkinan potensi masuknya import case berbagai varian," kata Rahmad kepada Republika, Senin (21/2).

Baca Juga

Politikus PDIP itu mengatakan negara berkewajiban memberikan perlindungan dari potensi kemungkinan terjadi paparan Covid-19 dari luar negeri. Menurutnya hal tersebut merupakan langkah yang tepat.

"Apapun persepsi publik kalau untuk dari luar negeri kewajiban negara dalam rangka memberikan perlindungan dari potensi kemungkinan terjadi paparan Covid-19 dari luar negeri," ujarnya.

Terkait hasil survei Indikator yang menyebut 52,5 persen responden publik menolak PCR dijadikan syarat perjalanan, ia menghormati hasil survei tersebut. Namun menurutnya isu tersebut tak lagi relevan.

"Kalau tes antigen oke lah itu sebagai salah satu cara  untuk prasyarat menjadi screening kita agar kita bisa mengendalikan penyebaran Covid-19. Kalau PCR memang sudah tidak menjadi isu, tapi apapun kita hormati, apapun kita hargai terhadap survei itu karena secara keilmuan juga diterima dalam rangka memotret pandangan suatu masyarakat," tuturnya.

Survei Indikator Politik Indonesia sebelumnya merilis hasil survei daring terbaru bertajuk 'Sikap Publik Terhadap Omicron, Vaksin Booster, PTM, dan Apatisme Warga'. Hasilnya, sebanyak 52,5 persen responden tak setuju tes Polymerase Chain Reaction (PCR) diwajibkan sebagai syarat perjalanan.

"Atas program ini kebanyakan dari responden survei kami tidak setuju tes PCR menjadi syarat perjalanan," kata Peneliti Senior Indikator Politik Indonesia, Rizka Halida secara daring, Ahad (20/2).

Sebanyak 13,9 persen responden menyatakan sangat tidak setuju, kemudian responden yang tidak setuju sebanyak 38,6 persen. Sehingga jika ditotal hasilnya 52,5 persen.

"Tapi ada juga yang setuju 35,3 persen setuju, yang sangat setuju 5,1 persen, sementara yang tidak tahu atau tidak menjawab ada 7,1 persen," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement