REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai, ada masalah ketidakprofesionalan aparat kepolisian saat menetapkan Nurhayati sebagai tersangka. Dia berharap, momentum ini dimanfaatkan Polri untuk mengoreksi jajarannya.
Nurhayati akhirnya lolos dari jerat hukum setelah Menkopolhukam Mahfud MD turun tangan. Nurhayati dikenal sebagai orang yang dijadikan tersangka karena melaporkan kepala desa atas korupsi dana desa.
"Artinya, aparatur polri di tingkat bawah bagaikan paku kalau tidak dipukul tidak bergerak. Ini adalah cermin rendahnya profesionalisme anggota Polri," kata Sugeng kepada Republika, Senin (28/2).
Sugeng menyayangkan, hal itu sebagai bentuk ketidakpatuhan aparat kepolisian terhadap instruksi Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo soal pelayanan masyarakat. Dia mendesak, aparat kepolisian melayani masyarakat tanpa perlu melihat kasus itu viral atau tidak.
"Ini kembali terjadi #noviralnojustice, padahal Kapolri pada akhir tahun 2021 memerintah jajarannya serius melayani pengaduan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Nyatanya ini terjadi lagi," ujar Sugeng.
Selain itu, Sugeng mengakui, bagian reserse kepolisian yang membuat Nurhayati berstatus tersangka merupakan tugas tertutup sehingga sulit dipantau dari luar. Oleh karena itu, dia mendukung, masyarakat memviralkan suatu ketidakadilan agar mendapat perhatian Polri.
"Khusus terkait sikap tidak profesional, penyalahgunaan wewenang bahkan tindakan tercela oknum Polri yang sulit dideteksi adalah dalam fungsi reserse. Karena, proses kerja reserse adalah proses tertutup karena itu memang kalau ada masyarakat yang merasa dikriminalisasi harus berani memviralkan agar menjadi perhatian pimpinan Polri," ucap Sugeng.
Sugeng juga mengungkapkan ICW memang mendapatkan banyak laporan unprofesional conduct atau tindakan yang tak professional dari aparat kepolisian. Namun, karena warga yang menjadi korban tidak memviralkannya sehingga mereka tidak mendapatkan perhatian pimpinan Polri.
"Dalam kasus Nurhayati saya melihat problemnya adalah profesionalisme, yaitu terkait indikasi tidak diterapkannya ketentuan pidana sebagai alasan pemaaf yang dapat menghapus tuntutan Pidana sebaimana diatur dalam pasal 51 KUHP terkait perintah atasan yang tidak sah," ujar Sugeng.
Sebelumnya, Nurhayati sempat ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa oleh Polres Cirebon. Kasus Nurhayati sempat viral di media sosial dan menarik perhatian publik karena banyak orang menilai ia merupakan salah satu pelapor atau pihak yang berupaya membongkar kasus korupsi dana Desa Citemu oleh kepala desa. Atas dasar itu, penetapan Nurhayati sebagai tersangka menuai kritik dan protes masyarakat serta berbagai organisasi masyarakat sipil.
Menko Polhukam Mahfud MD lalu meminta Nurhayati agar tak perlu lagi ke Kementerian Polhukam. Status tersangka Nurhayati, menurut Mahfud MD, tidak dilanjutkan. Pernyataan ini disampaikan Mahfud MD melalui akun Twitter resminya @mohmahfudmd. Dalam akun itu Mahfud menuliskan:
"Tekait dgn dijadikannya Nurhayati sbg ikut TSK stlh melaporkan korupsi atasannya (Kades) maka diinfokan bhw ybs. tak perlu lg datang ke Kem-Polhukam. Kem. Polhukam tlh berkordinasi dgn Kepolisian dan Kejaksaan. Insyaallah status TSK tdk dilanjutkan. Tinggal formula yuridisnya."