REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) menyampaikan, para petani di sejumlah sentra mulai memasuki masa panen. Kenaikan harga yang terasa hingga ke level konsumen diyakini akan mulai turun ketika masuknya bulan Ramadhan pada April mendatang.
Sekretaris Jenderal ABMI, Ikhwan, mengatakan, kenaikan harga bawang merah memang biasa terjadi sebulan sebelum memasuki Ramadhan. Namun, berdasarkan hasil rapat koordinasi nasional ABMI awal bulan ini, Ikhwan memastikan tidak akan terjadi lonjakan harga di momen hari besar umat Islam tahun ini.
"Kalaupun ada kenaikan harga, waktunya tidak akan lama. Harga di petani saat ini hanya Rp 16 ribu per kg, sudah BEP (balik modal) tapi harga harapan petani sebetulnya Rp 18 ribu per kg," kata Ikhwan kepada Republika.co.id, Senin (14/3/2022).
Harga bawang merah dalam beberapa hari terakhir mulai mendekati Rp 40 ribu per kilogram (kg). Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat, secara nasional rata-rata per Senin (14/3/2022) sebesar Rp 37.300 per kg, cukup tinggi dari rata-rata harga biasa sekitar Rp 30 ribu per kg.
Bawang merah menjadi komoditas pokok hortikultura selain cabe yang sedang mengalami kenaikan harga. Ikhwan pun menjelaskan, tingkat produktivitas di musim hujan saat ini memang bisa menyebabkan penurunan produksi hingga 20 persen dari tingkat maksimal 8 ton per hektare (ha).
Namun, dengan luas penanaman yang diupayakan ditambah dan berbagai program persiapan hari besar keagamaan, stabilisasi harga bisa dilakukan. ABMI pun meminta agar pemerintah tidak membuka keran impor bawang merah tahun ini dalam menyikapi kenaikan harga yang terjadi.
Ia meminta agar Kementerian Pertanian bersama Kementerian Perdagangan bisa berkoordinasi secara baik dan mendengar masukan-masukan asosiasi. "Menurut kami tidak perlu impor. Jangan. Harus dikalkulasi dulu," kata dia.
Menurut dia, keterlibatan pemerintah dalam sistem pergudangan nasional khusus komoditas bawang merah tidak ada. Gudang pendingin atau cold storage untuk bawang merah juga belum tersedia untuk para petani.
Padahal, produksi bawang merah selalu surplus dan tidak pernah impor sejak 2014. ABMI mencatat rata-rata produksi tahunan bisa mencapai 1,2 juta ton sementara total permintaan setahun masih sekitar 800 ribu ton.
"Surplus itu harusnya dikelola dengan pergudangan petani yang didukung pengusaha. Itu tidak ada. Jadi ya mengandalkan stok di lahan milik para petani. Itu yang harus Kemendag persiapkan," ujar dia.
Ikhwan menambahkan, mayoritas perdagangan komoditas terutama di Jawa masih dalam bentuk basah. Semestinya, ke depan pemerintah memikirkan sistem perdagangan kering sehingga fluktuasi harga dapat lebih dikendalikan.
Penyikapan terhadap kenaikan harga pun harus proporsional dengan melihat lokasi lonjakan harga dengan kesiapan sentra bawang merah terdekat.