REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana (Jampidum) pada Kejaksaan Agung telah menyelesaikan lebih dari 823 perkara tindak pidana umum dengan menerapkan keadilan restoratif atau restorative justice. Angka tersebut terhitung sejak Peraturan Kejaksaan Nomor 14 tahun 2020 diundangkan.
"Lebih dari 823 perkara tindak pidana umum telah diselesaikan oleh kejaksaan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," ujar Jampidum Kejaksaan Agung (Kejakgung) Fadil Zumhana dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (23/3/2022).
Kendati demikian, jumlah itu memang tidak sebanding dengan banyaknya perkara yang ada. Sebab, proses penghentian penuntutan secara keadilan restoratif dilakukan secara sangat selektif oleh kejaksaan.
"Dengan dilakukan gelar perkara dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum setiap hari, setiap pagi. Namun demikian, penghentian perkara dengan keadilan restoratif tersebut ternyata sangat mendapat respon positif dari masyarakat," ujar Fadil.
Jampidum juga telah mengeluarkan sejumlah petunjuk teknis dalam pelaksanaan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Terakhir adalah Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum nomor 01/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Pedoman ini memperluas jumlah nilai kerugian tidak terbatas 2,5 juta, karena kami melihat potensi kerugian dalam satu tindak pidana dapat melebih 2,5 juta. Namun dapat diselesai dengan melalui mekanisme perdamaian dan kata maaf dari korban," ujar Fadil.
Di samping itu, saat ini jaksa memiliki tugas dan kewenangan baru sebagai mediator penal. Dengan demikian, penyelesaian penanganan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif dapat difungsikan sebagai pelaksanaan tugas dan kewenangan baru.
Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dijelaskannya, penuntut umum saat ini berfungsi sebagai mediator penal, ditunjang dengan aturan main tentang restorative justice.
"Administrasi standar kompetensi peraturan etika tentang keadilan restoratif, komunikasi interpersonal menggali aktif pelaku korban dan atau masyarakat. Dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan," ujar Fadil.
"Penilai teknik mediasi dan penyelesaian yang adil bagi para pihak kewajiban ini menjadi amanat dalam basic principle on use restorative justice in criminal matters," sambungnya.
Anggota Komisi III Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding meminta kejaksaan selektif dalam memilih perkara dengan pendekatan keadilan restoratif. Sebab, tak semua kasus pidana diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
"Jadi tidak semua kasus harus restorative justice. Lalu kemudian bagaimana SOP-nya, itu juga sangat penting, jangan sampai ini menjadi lahan baru dalam upaya-upaya transaksional dalam penerapan restorative justice," ujar Sudding.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Santoso mengapresiasi penerapan keadilan restoratif atau restorative justice dalam menyelesaikan perkara tindak pidana umum. Namun, ia meminta agar prinsip tersebut tak dijadikan oknum jaksa sebagai ladang pemerasan.
"Khusus restorative justice, jangan jadi ladang pemerasan baru oleh oknum jaksa kepada masyarakat pencari keadilan," ujar Santoso.
Ia menjelaskan, ada potensi para oknum jasa memeras korban dengan dalil restorative justice. Padahal, sudah menjadi tugas aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan, untuk memfasilitasi pendekatan tersebut dalam penanganan perkara pidana.
"Jangan lagi rakyat diperas atas program-program yang sebenarnya baik, tetapi di belakang menjerat rakyat untuk disusahkan atau disengsarakan lagi," ujar Santoso.