REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar
Kasus Covid-19 di Tanah Air terus berada di level kurang dari 10 ribu kasus per hari. Berbagai pelonggaran kian hari juga makin dirasakan masyarakat.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Masdalina Pane namun meminta semua pihak dapat bersabar untuk memasuki masa transisi pandemi Covid-19 menjadi endemi. Alasannya status endemi ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
"Banyak negara yang kondisi pandeminya lebih baik dari Indonesia, tapi semua bersabar menunggu interim (panduan) global," kata Masdalina saat dikonfirmasi, Rabu (23/3/2022).
Masdalina memandang, alangkah baiknya tidak terburu-buru menerapkan situasi endemi. Pasalnya, jika salah langkah maka akan terjadi lonjakan kasus Covid-19. Oleh karenanya ia meminta pemerintah tidak perlu tergesa-gesa memutuskan Indonesia sudah masuk fase endemi Covid-19.
"Tidak ada relevansinya kita mempercepat proses, jika kemudian ada kemunduran lagi jika kondisi memburuk," ujar Masdalina.
Saat ini, hal terpenting adalah masyarakat tetap harus disiplin menjaga protokol kesehatan. Hal ini lantaran memakai masker dan mencuci tangan pakai sabun merupakan kunci utama saat pelonggaran pembatasan di tengah masa adaptasi pengendalian kasus Covid-19.
"Jadi sabar saja dan tetap beraktivitas seperti biasa, dan menjaga agar kondisi terkendali dalam jangka waktu lama. Tetap disiplin melakukan 3M dan 3T sampai pandemi ini berakhir," tegasnya.
Sementara Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengingatkan bahwa masa endemi nanti bukanlah akhir dari Covid-19. Karena, masih ada kemungkinan penularan bahkan kematian.
“Untuk menghilangkan sebuah penyakit itu membutuhkan waktu yang lebih panjang, tentunya kita harus bersiap untuk terus berdampingan dengan Covid-19,” kata Nadia di Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, relaksasi kebijakan terkait Covid-19 memang sudah banyak terjadi di negara-negara Eropa. Ia menjelaskan, perubahan status menjadi endemi tak hanya dilihat dari faktor kesehatan saja.
"Transisi dari pandemi ke endemi itu tidak 100 persen faktor kesehatan, itu banyak faktor sosial, politik, ekonomi, budaya juga. Kenapa kita lihat Eropa sudah cukup melonggarkan? karena tekanan politik masyarakatnya tinggi," ujar Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, hari ini.
Masyarakat Eropa, jelas Budi, sering melontarkan protesnya kepada pemerintah terhadap kebijakan penanganan Covid-19. Hal tersebut semakin diperkuat dengan survei yang menyebut warga di sana sudah tak takut dengan virus tersebut.
"Sehingga akibatnya apa, pressure untuk negara-negara Eropa di mana masyarakatnya sudah tidak takut menghadapi Covid itu membuat pemerintahnya akhirnya mengambil keputusan politis. Bukan keputusan kesehatan, tapi keputusan yang pertimbangan sosial-politisnya tinggi," ujar Budi.
Berbeda dengan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, yang sebagian masyarakatnya masih takut terhadap Covid-19. Sehingga faktor kesehatan masih menjadi acuan dasar pemerintah sebelum merubah status menjadi endemi.
"Ini adalah satu realitas yang kita hadapi bahwa transisi dari pandemi endemi tidak murni dari sektor kesehatan, tapi ada pertimbangan-pertimbangan sosial-politik," ujar Budi.
Adapun pemerintah Indonesia disebutnya juga tak 100 persen melihat faktor kesehatan sebagai acuan perubahan status pandemi menjadi endemi. Namun, pertimbangan dari faktor kesehatan menjadi yang paling penting sebelum mengambil keputusan.
"Kita memahami bahwa tidak mungkin 100 persen ada faktor kesehatannya, tapi memang sebaiknya pertimbangan sektor kesehatannya harusnya lebih tinggi. Sehingga kebijakan, policy yang diambil tidak berbasis full emosi, tapi juga ada berbasis scientific-nya," ujar Budi.