REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tangerang pada 8 September 2021 dini hari WIB, masih terus didalami pihak berwajib. Di antaranya, terkait penyebab banyaknya warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang tewas mencapai 49 orang masih menjadi pertanyaan bersama.
Dalam sidang keenam yang berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa (29/3/2022), saksi ahli kebakaran Bambang Heru Saharjo menyampaikan, terjadiasap menggumpal serta kondisi kabel berantakan di tempat kejadian perkara (TKP). Bambang mengaku, memantau menggunakan satelit dan aplikasi NoSQL dalam mendeteksi TKP.
Dia juga mendeteksi waktu dan proses kebakaran serta pendeteksian kandungan gas yang ada di TKP saat insiden kebakaran terjadi. "Di TKP, asap mengumpul, menggumpal dalam satu lorong," ujar Bambang dalam sidang saat ditanya hakim soal kondisi asap yang diduga dihirup para korban saat kebakaran sehingga dapat menyebabkan meninggal dunia.
Bambang menjelaskan, terdapat empat partikel atau zat terdeteksi pada kebakaran tersebut, yakni karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), partikulat PM10, dan PM2.5. Keempatnya disebut gas berbahaya bagi manusia.
Dia menjelaskan, SO2, PM10, dan PM2.5 muncul pada pukul 23.00 WIB, dan gas karbon monoksida terdeteksi pada pukul 00.00 WIB. Berdasarkan penuturannya, kebakaran itu berawal dari adanya percikan api dari sambungan kabel listrik di atas plafon yang memang terjadi pada sekira pukul 23.00 WIB.
Percikan api lalu terkena tripleks yang bersifat mudah terbakar, hingga akhirnya jatuh ke bawah menimpa kasur yang terdiri dari busa dan terjadilah insiden kebakaran sekitar pukul 01.00 WIB hingga 02.00 WIB. "Puncaknya jam 01.00 WIB ke atas, sudah mulai besar (api). Itu bisa kita lihat dari gas (jumlahnya) turun sekitar jam 02.00 WIB, itu pas dilakukan pemadaman oleh petugas," terang Bambang.
Sejalan dengan kondisi munculnya sejumlah partikel berbahaya, menurut Bambang, kondisi kelistrikan di Lapas Kelas 1 Tangerang juga tidak beraturan, seperti kondisi kabel yang berantakan dan adanya pemakaian listrik yang berlebihan. Hal itu dibuktikan dengan tidak berfungsinya miniature circuit breaker (MCB) sebagai sistem peringatan (early warning system).
"Kita lihat bagian yang terbakar sudah pating semrawut (kacau balau), misal kabel. Mestinya saat terjadi gangguan upaya awalnya jepret itu (MCB) sebetulnya proteksi. Bukan turun lagi (MCB-nya), tapi sudah hancur terbakar, sudah semrawut, berarti memang ada masalah di sistemnya sendiri di lapas itu," jelas Bambang.