Sabtu 02 Apr 2022 06:56 WIB

Badan PBB Prediksi Warga Kelaparan Meningkat di Sudan

87 persen gandum impor Sudan berasal dari Rusia dan Ukraina.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Petani memanen dengan menggabungkan mereka di ladang gandum dekat desa Tbilisskaya, Rusia, 21 Juli 2021. 87 persen gandum impor Sudan berasal dari Rusia dan Ukraina.
Foto: AP/Vitaly Timkiv
Petani memanen dengan menggabungkan mereka di ladang gandum dekat desa Tbilisskaya, Rusia, 21 Juli 2021. 87 persen gandum impor Sudan berasal dari Rusia dan Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Jutaan orang Sudan akan tetap kelaparan tahun ini. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan, perkiraan tingkat kelaparan akan meningkat sehingga mengancam dan mengacaukan negara itu yang saudah menghadapi konflik serta kemiskinan.

Badan dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan pada pekan lalu bahwa jumlah orang yang mengalami tingkat kelaparan akan memaksa untuk menjual aset penting. Artinya warga yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dijual akan berlipat ganda menjadi 18 juta pada September.

Baca Juga

Data FAO menunjukan sekitar 87 persen gandum impor Sudan berasal dari Rusia dan Ukraina. Kondisi ini menjadikannya salah satu negara Arab yang paling terpapar dari perang di Ukraina.

"Jika sepotong roti yang sangat sedikit ini beratnya 50 pon, kehidupan seperti apa yang bisa kita miliki?” kata seorang lelaki tua di sebuah kios sayur di Alhalfaya, Haji Ahmed.

Bank Dunia memperkirakan bahwa pada 2021 56 persen dari total populasi 44 juta orang bertahan hidup dengan kurang dari 3,20 dolar AS atau sekitar 2.000 pound per hari. Jumlah tersebut naik dari 43 persen pada 2009.

Sudan telah terperosok dalam krisis ekonomi sejak sebelum penggulingan Presiden Omar al-Bashir dalam pemberontakan pada 2019. Pemerintah transisi menarik miliaran dolar dalam dukungan internasional, tetapi itu ditangguhkan setelah kudeta, menempatkan Sudan di ambang kehancuran ekonomi. Devaluasi mata uang dan reformasi subsidi telah menaikkan harga, dan inflasi mencapai lebih dari 250 persen.

Badan bantuan telah lama bekerja untuk membantu orang miskin pedesaan dan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat perang di Sudan. Pada tahun 2019, Program Pangan Dunia (WFP) memperluas operasinya ke pusat-pusat kota untuk pertama kalinya.

"Lompatan ini tidak terjadi kemarin atau beberapa bulan yang lalu, ini sedang berkembang," kata wakil direktur Sudan WFP Marianne Ward.

"Ini tidak lagi semata-mata didorong oleh konflik, tetapi juga tentang masalah struktural seperti inflasi (dan) ketersediaan mata uang asing," katanya. 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement