REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro
Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, menilai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tak punya kewenangan dalam menentukan hukuman terhadap seorang dokter. Ia mengatakan MKDKI hanya berwenang memberikan sanksi disiplin berupa pemberian peringatan tertulis, dan pemberian rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
"Yang penting tidak ada kewenangan majelis IDI untuk menentukan hukuman, hukuman badan lah, atau hukuman sanksi sosial. Jadi ini juga harus diperhatikan," kata Romli yang hadir secara daring, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IX DPR dan PB IDI, Senin (4/4/2022).
Selain itu dirinya menilai tujuan pembentukan MKDKI sudah baik dalam pembinaan anggota. Kemudian keberadaan MKDKI juga dinilai penting untuk menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran dengan cara menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter/dokter gigi yang diajukan.
"Kita hargai bagus ini saya lihat, saya baca bagus ya, sangat teliti, correct dalam pembinaan anggota. Tapi tentu tidak ada lagi sanksi yang terkeras bagi dokter," ucapnya.
Dalam rapat tersebut Romli juga mengkritisi Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang dinilai terlambat menyikapi persoalan pemberhentian Terawan Agus Putranto. Padahal, menurutnya, menkes bertanggung jawab atas seluruh iklim suasana kesehatan pada umumnya dan praktik kedokteran pada khususnya.
"Ini seperti pemadam kebakaran kalau begitu menterinya, udah tahu kebakaran nunggu dulu sampai semua orang ribut baru dia datang. ini masalah kita kok pada umumnya ya," tuturnya.
Romli juga menyoroti soal tujuan pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana negara memberikan perlindungan hukum kepada dokter dan pasiennya.
"Bukan dokter dengan majelisnya, terutama dokter dengan pasiennya," kata Romli.
Romli mengatakan, hubungan hubungan dokter dengan pasien menjadi hal yang utama. Keduanya harus ada hubungan yang baik, harmonis, dan saling sepakat.
"Kesepakatan ini dalam dunia hukum itu sesuatu yang mengikat bagi pihak-pihak yang bersepakat, itu hukum," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Romli, seorang dokter akan memberitahukan dulu kepada pasiennya terkait cara penanganan, akibatnya, dan dampak kedepannya sebelum akhirnya disetujui oleh si pasien. Sehingga tidak jarang jika ada tindakan medis yang serius maka pasien akan dimintai tanda tangan dan diketahui oleh pihak keluarga.
"Jadi memang kalau orang hukum melihat ini hubungan Undang-undang Kesehatan maupun praktik kedokteran yang lebih khusus, itu yang diutamakan apakah ada pasien yang melaporkan terjadi tindakan medis yang mengakibatkan cacat permanen, cacat sementara, kematian dan sebagainya, itu menjadi perhatian yang khusus memang," jelasnya.
Namun demikian, jika ada orang yang melaporkan ke majleis kode etik, maka laporan tersebut boleh saja diterima. Akan tetapi, menurutnya perlu dilihat sejauh mana ada laporan-laporan buruk tentang tindakan-tindakan medis dokter yang bersangkutan.
"Jadi bukan hanya dugaan, bukan hanya masalah administratif pemanggilan tidak hadir, bukan itu dinilai kalau saya lihat ya dari undang-undang ini ternyata bukan di situ," ungkapnya.
Ihwal pemecatan Terawan, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Herkutanto yang ikut hadir dalam rapat dengan Komisi IX DPR kemarin menyatakan, bahwa IDI memiliki kewenangan dalam menindak anggotanya yang melanggar disiplin organisasi.
"Seorang anggota dapat saja diberhentikan bila dianggap melanggar disiplin organisasi. Kalau kita kaitkan dengan IDI kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan dalam menentukan apakah seseorang melanggar disiplin organisasi dan mengambil tindakan sesuai dengan AD ART organisasinya," kata Herkutanto.
Terkait organisasi IDI dengan keanggotaanya, Herkutanto menyebut seorang anggota IDI dipersilakan keluar dari organisasi. Namun konsekuensinya dokter tidak bisa melakukan praktik kedokteran. Ia mengatakan, syarat praktik bisa diberikan apabila mendapat rekomendasi dari IDI.
"Bila memiliki kewenangan publik, tentu harus dilihat sumber hukumnya dalam hal ini UU Praktik Kedokteran pasal 38 ayat 1 huruf C mencantumkan kewenangan IDI memberi rekomendasi untuk dapat berpraktik," ungkapnya.
Herkutanto berkesimpulan setiap dokter yang ingin berpkratik maka harus bergabung dengan IDI agar dapat diberi rekomendasi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU Praktik Kedoktaran.
Adapun terkait Surat Izin Praktik (SIP) dokter dan rekomendasi idi dan str Surat Tanda Registrasi (STR), Herkutanto mengatakan, setiap dokter yang akan berpraktik harus memiliki SIP dari pemerintah, dengan menyertakan dua syarat lain, yaitu memiliki STR yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan rekomendasi IDI.
"Jadi kesimpulannya adalah IDI memiliki kewenangan publik yang cukup strategis dalam menentukan praktik dokter di Indonesia dan tentunya adalah apabila ada mekanisme pengawasan dilakukan oleh negara maka tentunya akan meningkatkan marwah karena akuntabilitas akan meningkat," tuturnya.