REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekebalan kelompok atau herd immunity menjadi topik yang banyak muncul sebab dianggap berpotensi mengakhiri pandemi Covid-19. Akan tetapi, sejumlah pakar justru berpendapat herd immunity sukar terwujud pada saat ini.
Para ilmuwan memaparkannya dalam artikel baru yang diterbitkan di Journal of Infectious Diseases. Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Amerika Serikat, Anthony Fauci, tergabung dalam tim penulis.
Fauci dan rekan penulisnya secara khusus menyebutkan hambatan signifikan untuk tercapainya herd immunity. Hambatan itu termasuk resistensi substansial terhadap upaya pengendalian penyebaran SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19.
Resistensi atau penolakan publik terhadap vaksinasi dan penggunaan masker jadi faktor utama sulitnya tercipta herd immunity. Para pakar juga mencatat bahwa baik infeksi maupun vaksinasi tampaknya tidak menginduksi perlindungan berkepanjangan terhadap SARS-CoV-2 bagi kebanyakan orang.
Akibatnya, sulit untuk sepenuhnya mencegah Covid-19, bahkan jika seseorang telah divaksinasi atau pernah terinfeksi virus. Sementara, herd immunity yang terjadi ketika sebagian besar populasi kebal terhadap suatu penyakit menular hanya bisa dicapai melalui vaksinasi atau infeksi alami.
Menurut Fauci dan rekan penulisnya, SARS-CoV-2 terus mengembangkan varian, dan itu membuat kian sulit untuk mengembangkan kekebalan kelompok. Meski sebelumnya Fauci optimistis dengan tercapainya herd immunity, pada laporan itu dia berpendapat sebaliknya.
"Jika kekebalan yang disebabkan oleh vaksin atau infeksi terhadap SARS-CoV-2 memang terbukti berumur pendek, atau jika mutasi terus muncul, penyebaran virus dapat berlanjut tanpa batas, meskipun mudah-mudahan pada tingkat endemik yang rendah," ujarnya.
Profesor dari Vanderbilt University School of Medicine yang fokus pada penyakit menular, William Schaffner, menyoroti bahwa virus corona terus bermutasi dan memunculkan subvarian baru setiap saat. Schaffner mengatakan, populasi global tidak dapat memperlakukan Covid-19 layaknya campak.
"Kemungkinan booster berkala akan diperlukan. Mungkin saja kita harus mendapatkan booster micron di musim gugur atau musim dingin, itu tidak mengejutkan. Tantangan besarnya adalah membuat publik menerimanya," tutur Schaffner, dikutip dari laman Prevention, Jumat (8/4/2022).
Pakar penyakit menular Amesh Adalja dari Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins menjelaskan bahwa SARS-CoV-2 secara genetik tidak stabil seperti patogen lain. Berbeda seperti campak yang mana masyarakat telah mencapai kekebalan kelompok dalam menghadapinya.
Virus SARS-CoV-2 berasal dari keluarga virus yang diketahui bermutasi untuk dapat menginfeksi kembali individu secara rutin. "Covid-19 tidak akan ke mana-mana, selalu ditakdirkan untuk menjadi virus pernapasan yang diidap secara musiman," kata Adalja.
Profesor Thomas Russo yang menjabat sebagai kepala penyakit menular di Universitas Buffalo di New York menyampaikan bahwa kalaupun ada kekebalan yang dikembangkan, itu hanya terhadap varian tertentu. Jika seseorang sudah kebal terhadap varian delta, misalnya, dia masih mungkin terinfeksi varian omicron.
Russo menyimpan ekspektasi agar Covid-19 pada akhirnya akan mirip flu. "Kami berharap sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala atau hanya menyebabkan penyakit ringan. Kami akan mengelolanya dan melakukan yang terbaik untuk mengendalikannya melalui vaksinasi," ucap Russo.