REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terbatasnya jumlah produsen vaksin di Indonesia dipengaruhi faktor tingginya risiko investasi dalam sektor tersebut. Hal ini dikatakan Direktur Utama PT Biotis Pharmaceutical Indonesia FX Sudirman.
"Developer terakhir yang belakangan ini muncul, merupakan industri dengan risiko tinggi karena saat vaksinnya jadi, bisa saja sudah hilang pandeminya," kata FX Sudirman yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (13/4/2022).
Situasi itu, kata Sudirman, membuat jumlah produsen vaksin di dunia termasuk Indonesia menjadi tidak banyak. Panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut setiap 50 juta penduduk perlu didirikan satu pabrik vaksin. "Namun nyatanya di Indonesia dengan 270 juta penduduk, cuma punya dua pabrik vaksin dalam negeri, sebelumnya cuma satu," katanya.
Pabrik vaksin yang dimaksud adalah PT Bio Farma sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang berbisnis di bidang farmasi serta terbesar di Asia Tenggara. Berikutnya adalah PT Biotis Pharmaceutical yang kini terlibat dalam pengembangan Vaksin Covid-19 Merah Putih serta Zifivax.
PT Biotis Pharmaceutical merupakan bagian dari program pemerintah dalam upaya membangun kemandirian vaksin dalam negeri. Sudirman mengatakan Biotis sedang mempersiapkan vaksin lain di luar Covid-19. Ada sepuluh vaksin baru yang selama ini diimpor sedang didorong untuk dikembangkan di Indonesia.
"Tentu pengembangan bertahap dari uji klinis, evaluasi dan upstream, downstream. Ini tantangan cukup besar dan menarik untuk dunia usaha di bidang farmasi," jelasnya.
Hal itu yang kemudian menjadi alasan Biotis mengambil peran dalam penanaman modal di industri vaksin Indonesia. "Saya rasa perlu ada pengusaha untuk menanam modal di industri vaksin Indonesia," ujar Sudirman.