Senin 18 Apr 2022 14:15 WIB

Rasmus Paludan dan Vigilantisme Sayap Kanan

Mencari akar Islamofobia Rasmus Paludan

Rasmus Paludan
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog dan Penulis

SEKUMPULAN musisi Denmark menyebut diri mereka “FJMP”. Pentas mereka bukan di kafe, ballroom hotel atau arena olahraga layaknya grup musik kebanyakan. Panggung mereka berpindah-pindah sesuai dengan lokasi dan posisi Rasmus Paludan, 40 tahun, pendiri partai Stram Kurs (“Garis Keras”), yang hobi bakar Al Qur’an dan maki-maki imigran.

Setiap kali Rasmus bicara, bunyi musik merespons  gombrang-gambreng sengawur-ngawurnya. Debur tambur melantur-lantur, jerit saksofon berdecit-decit, siul harmonika susul menyusul, pekik trumpet merepet cerewet, bunyi banjo mendengking ngaco. Sebuah disharmoni sempurna. “Kami buat gaduh untuk tandingi gaduh,” ujar John Rasmussen--salah seorang peniup saksofon dan konsultan IT motor FJMP--seraya menatap Rasmus yang terlihat gusar di antara para pendengarnya yang berkumpul di tengah taman.

“Musik mengerikan melawan hasutan mengerikan,” celetuk Jørn Tolstrup, seorang penonton tertawa lebar. “Rasmus berharap membuat para imigran marah dengan pidatonya, lalu sebagian imigran membalas mematahkan tangannya atau membuat lebam matanya. Itu yang dia inginkan. Seorang idiot yang tak pernah diam. Saya girang sekali menyaksikan inisiatif para musisi yang kreatif ini untuk membuat Rasmus berhenti.”

Bagi Rasmus yang aksi provokasinya berantakan, cara yang dilakukan FJMP sangat mengesalkan. “Gangguan ilegal dari sebuah demo legal,” rutuknya sebal. “Kebisingan dibuat merupakan pengakuan kegagalan mereka yang hanya bisa membuat berisik dengan alat musik karena tak bisa melawan argumen saya. Patetik,” lanjutnya kepada wartawan Sebastian Skov Andersen dari Vice News yang meliput ‘perang kegaduhan’.

FJMP terbentuk Mei 2020 di Kopenhagen dengan tujuan melawan kampanye intoleran Rasmus Paludan yang antiimigran. Nama FJMP berarti “Free Jazz Mod Paludan”. Dalam bahasa Denmark “ mod” memiliki padanan bahasa Inggris “ against”. Jadi band itu bisa disebut “Free Jazz Against Paludan” untuk memudahkan. Pada laman Facebook FJMP tertulis undangan “siapa pun boleh bergabung, kecuali Rasmus Paludan.” Calon anggota tidak harus musisi profesional serta tidak harus bawa alat musik jika tak punya. “Mau pakai penggorengan atau sendok kayu pun diperbolehkan.”

Sayangnya FJMP hanya bisa merespons di segenap petak negeri Denmark. Mereka tak bisa gombrang-gambreng  di Swedia, seperti saat Paludan dan pengikutnya kembali membakar Al Qur’an di Linköping—200 km barat daya ibu kota Stockholm—Kamis (14/4). Dia berani melakukan itu karena dilindungi polisi yang gunakan jurus sakti kebebasan bicara.

Aksi Rasmus dibalas tiga ratus massa yang membuat kerusuhan meletus. Sebuah mobil dibakar, anggota polisi diserang. Keesokan harinya, Jumat (15/4), massa kembali turun ke jalan dan bentrok dengan polisi yang membuat sembilan orang aparat mengalami hujan timpukan batu dan patah lengan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement