REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto tidak ingin persatuan bangsa mengalami perpecahan. Ia mengungkapkan, hal itulah yang mendorong Prabowo memilih bergabung dan membantu pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Muzani mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi buktinya pentingnya persatuan. Sebab, dengan persatuan maka Indonesia bisa menghadapi pandemi Covid-19.
Ia melanjutkan, sebagai negara besar Indonesia harus memiliki pemimpin yang menjunjung tinggi persatuan. Karena dengan persatuan negara akan menjadi kuat.
Menurutnya, untuk menjaga persatuan kita tidak boleh cepat tersinggung, apalagi dengan mementingkan harga diri dan kepentingan pribadi. Persatuan sebuah bangsa tidak mungkin dipelihara jika para pemimpinnya orang-orang yang cepat tersinggung. Harganya dirinya lebih tinggi di atas rata-rata.
"Itulah mengapa Pak Prabowo lebih memilih untuk menjaga persatuan bangsa seusai pilpres 2019. Pembelahan yang mengancam persatuan bangsa amatlah nyata dan Pak Prabowo tidak mau bangsa ini terbelah, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah," ujar Muzani.
"Karena itu beliau memutuskan untuk menjaga persatuan ini dengan bersama-sama membangun pemerintah di bawah kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin," katanya saat menghadiri silaturahmi dengan ulama, pemimpin Ormas, akademisi dan masyarakat Jawa Barat di Gedung Yayasan Darul Hikam, Bandung, Sabtu (23/4/2022).
Muzani melanjutkan, keputusan Prabowo saat itu tidaklah populer. Bahkan, sampai sekarang sering disalahpahami, disalah mengerti, dan tak jarang Prabowo juga sering dimaki sampai dicaci. "Tapi itu adalah harga sebuah persatuan dan akhirnya seuasana kondusif terjadi sampai sekarang. Apalagi ketika kita menghadapi pandemi Covid-19, kerukunan dan kebersamaan sangat kita rasakan," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ia mengatakan, pemimpin-pemimpin terdahulu telah memberi teladang penting dalam menjaga persatuan bangsa. Sebagai contoh Bung Karno memilih meninggalkan Istana Bogor daripada melawan rezim Orde Baru ketika itu. Meskipun kekuatan Soekarnois amatlah memungkinkan untuk melawan.
Demikian juga Presiden Soeharto memilih mundur ketika desakan demonstran begitu masif memintanya lengser. Padahal, ABRI dan Polri masih berada di belakangnya. Begitupun dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memilih meninggalkan Istana Negara. "Semua itu dilakukan untuk tetap menjaga persatuan bangsa dan menghindari pertumpahan darah, agar persatuan bangsa kita yang dibangun susah payah dapat tetap terjaga," katanya.