REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Seorang kontraktor, Ahmad Syarif bersaksi dalam persidangan untuk terdakwa Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif, Abdul Wahid pada Senin (23/5/2022). Ia mengaku, uang komisi proyek berjumlah miliaran rupiah untuk sang bupati diserahkan dalam kardus mi instan.
"Tahun 2020 saya pernah diminta Dinas PUPRP HSU untuk mengumpulkan uang komisi dari sejumlah kontraktor pemenang lelang senilai Rp 1,7 miliar dan diserahkan ke ajudan bupati HSU bernama Abdul Latif," kata Syarif dalam kesaksikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu.
Ia bersama dua saksi lain, Didi Bukhari dan Taufikurrahman mengaku memenangkan sejumlah proyek melalui mekanisme lelang sejak 2018 hingga 2021 pada Dinas PUPRP HSU. Untuk komisi yang disepakati berkisar 9 hingga 15 persen sebelum dilakukan lelang hingga akhirnya mereka dimenangkan dari berbagai proyek pekerjaan baik Bidang Sumber Daya Air, Binamarga maupun Cipta Karya Dinas PUPR HSU.
Salah satunya komisi sebesar Rp 800 juta dari pengerjaan proyek pembangunan Pasar Alabio di Kabupaten HSU dengan pagu Rp 8 miliar. Bukhari menyebut, uang komisi dipotong dari keuntungan mereka sebagai kontraktor pemenang pekerjaan sehingga tak mempengaruhi kualitas pengerjaan proyek."Jadi, keuntungan setelah dipotong komisi tersisa 10 persen," katanya.
Sedangkan saksi lain, Mujib, juga mengaku berperan mengumpulkan dan menyerahkan komisi. Namun, dia hanya mengerjakan proyek penunjukan langsung dan tidak memberikan uang komisi.
Selesai memeriksa keempat saksi, majelis hakim yang diketuai Yusriansyah menutup persidangan untuk kembali digelar pada Senin (30/5/2022), pekan depan.
Dalam perkara hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK itu, Wahid selain dijerat dakwaan tindak pidana korupsi atas kasus pembagian fee proyek irigasi di Dinas PUPRP HSU juga menghadapi dakwaan pencucian uang oleh jaksa KPK. Mantan Plt Kadis PUPRP HSU, Maliki telah divonis majelis hakim pidana enam tahun penjara. Sedangkan dua kontraktor Marhaini dan Fachriadi divonis penjara satu tahun sembilan bulan serta denda Rp 50 juta.