Kamis 26 May 2022 00:36 WIB

Dampak Global Perang Rusia-Ukraina dan Mengapa Harus Segera Diakhiri?

Perang Rusia Ukraina berdampak terhadap perekonomian global

Beberapa gedung apartemen hancur selama pertempuran antara pasukan Rusia dan pasukan Ukraina di kota sekitar 40 mil barat laut Kiev (ilustrasi). Perang Rusia Ukraina berdampak terhadap perekonomian global
Foto: AP Photo/Petros Giannakouris
Beberapa gedung apartemen hancur selama pertempuran antara pasukan Rusia dan pasukan Ukraina di kota sekitar 40 mil barat laut Kiev (ilustrasi). Perang Rusia Ukraina berdampak terhadap perekonomian global

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dampak konflik Rusia-Ukraina harus dilihat dari sisi krisis yang berdampak pada kemanusiaan, karena itu Indonesia harus mampu berperan dalam menciptakan perdamaian, seperti yang diamanatkan konstitusi.  

"Pada alinea pertama UUD 1945 mengamanatkan kepada kita untuk ikut menciptakan perdamaian dunia dengan mencegah penjajahan dengan mengedepankan aspek kemanusiaan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Menuju Perdamaian Rusia-Ukraina yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/5/2022).            

Baca Juga

Menurut Lestari, krisis Rusia-Ukraina harus segera diakhiri karena dampaknya sangat mempengaruhi tatanan di sejumlah sektor di dunia.  

Belum tuntas dampak pandemi kita atasi, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, sejumlah krisis yang mengikutinya memberi tekanan tersendiri dalam upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk bangkit.  

Ancaman terhadap kemanusiaan dalam krisis Rusia-Ukraina, menurut Rerie, harus sesegera mungkin diakhiri dengan menggalang dukungan negara-negara di dunia.  

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap Indonesia dapat melakukan langkah dan sikap yang tepat dalam ikut serta  mengatasi konflik Rusia-Ukraina menuju perdamaian.  

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, menilai krisis Rusia-Ukraina berdampak pada banyak sektor, seperti ekonomi terkait sumber daya alam dan ketersediaan komoditas.  

Menurut Farhan, sanksi terhadap Rusia dari sejumlah negara dunia akan mempengaruhi keseimbangan ketersediaan komoditas di dunia. Sanksi tersebut, jelas Farhan, justru mendorong Rusia untuk menguasai Ukraina.  

Farhan berpendapat, demi menciptakan perdamaian dunia, Indonesia harus condong terhadap salah satu pihak dalam konflik tersebut.  

Di sisi lain, tambahnya, upaya perdamaian dalam krisis Rusia-Ukraina bisa dicapai bila Ukraina menyerah dan memberikan kemerdekaan kepada sejumlah negara bagiannya. “Bila Indonesia tetap bersikap non blok, krisis Rusia-Ukraina akan terus dalam status quo,” kata dia.    

Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat 91 hari krisis Rusia-Ukraina saat ini sudah menjadi multilateral war terhadap Rusia di tanah Ukraina.  

Krisis Rusia-Ukraina, jelas Connie, adalah perang yang berbeda dari perang pada umumnya. Dia menilai, untuk menghadapi kondisi ini Indonesia harus konsisten dengan Gerakan Non-Blok nya untuk berupaya menghentikan perang.  

Negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, tegas Connie, harus berani mengakhiri diskriminasi terhadap Rusia dan sejumlah negara di Asia dan Afrika dalam bentuk sanksi dari negara adidaya.  

Untuk menciptakan perdamaian dunia, menurut Connie, salah satunya adalah dengan menciptakan regional ballance of power di sejumlah kawasan.  

Guru besar Universitas Pertahanan, Anak Agung Banyu Perwita, menilai kondisi saat ini terjadi chaos dalam tatanan geopolitik.  “Jangan sampai kekuatan geopolitik dunia hanya dipengaruhi dua kutub kekuasan. Untuk stabilitas dunia, akan lebih baik multipolar kekuasaan,” kata dia.  

Menurut Banyu, harus ada reentepretasi baru dari kondisi geopolitik hari ini, karena geopolitik itu dinamis dan sangat berpengaruh terhadap politik, ekonomi dan teknologi di sejumlah negara.  

Direktur Eksekutif INADIS, Ple Priatna, berpendapat ada tiga pintu diplomasi bagi Indonesia yang bisa diupayakan untuk mendamaikan konflik Rusia-Ukraina yaitu jalur G20, ASEAN dan Gerakan Non-Blok.  

Priatna menilai PBB telah gagal menjalankan manajemen krisis multilateral dalam konflik Rusia-Ukraina, karena hingga saat ini PBB  tidak mampu memberi solusi perdamaian dunia.  

Dalam krisis Rusia-Ukraina, Priatna berpendapat, posisi  Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah free rider yang menjadi bagian dari peperangan, bukan bagian yang mengupayakan jalan keluar untuk perdamaian.       

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement