REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi perhatian khusus oleh Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ombudsman berperan melakukan pencegahan maladministrasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publik dalam konteks pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kami sering temukan, modalitas kepala daerah petahana untuk menang salah satunya menggunakan jalur strategis mobilisasi ASN dan perangkat dinas. Hal-hal seperti ini yang harus dicegah," ujar Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng dalam siaran persnya, Selasa (31/5/2022).
Pengawasan dimaksud, yaitu terhadap pelaksanaan pelayanan publik, baik yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, KASN, dan sebagainya. Robert mengatakan, bentuk maladministrasi dalam penanganan pengaduan netralitas ASN, seperti penundaan berlarut dalam penanganan pengaduan netralitas ASN, baik yang diselenggarakan oleh Bawaslu dan KASN.
Sementara, penyimpangan prosedur yakni tidak sesuainya mekanisme dan prosedur dalam penanganan pelanggaran netralitas ASN. Di samping itu, Robert juga menuturkan, pengawasan jalannya pemilu tidak hanya terkait netralitas ASN, tetapi juga dapat diperluas hingga politik anggaran, alokasi bantuan sosial, dan dana hibah di pemerintah daerah melalui anggaran dinas-dinas.
Dia berharap, para ASN dapat menjaga integritas dan independensi pada perhelatan Pemilu dan Pilkada serentak nasional pada 2024. Dia mengingatkan agar ASN tidak mempertaruhkannya demi kepentingan politik.
"Integritas dan independensi adalah mahkota ASN, jangan dipertaruhkan hanya karena kepentingan politik. Sebagai ASN, jadikan pelayanan publik sebagai orientasi utama," kata Robert.
Anggota KASN, Arie Budhiman menyampaikan lima kategori terbanyak pelanggaran netralitas ASN. Pertama, kampanye/sosialisasi media sosial (30,4 persen).
Kedua, mengadakan kegiatan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu calon/bakal calon (22,4 persen). Ketiga, melakukan foto bersama bakal calon/pasangan calon dengan mengikuti simbol gerakan tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan (12,6 persen).
Keempat, menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/calon peserta pilkada (10,9 persen). Kelima, melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai calon/bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah (5,6 persen).
Arie mengungkapkan, tantangan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu semakin kompleks, terutama munculnya praktik birokrasi berpolitik. Menurut dia, komitmen dan narasi positif antarlembaga pengawas perlu dibangun menuju solidaritas birokrasi untuk mewujudkan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan netralitas ASN pada pemilu.
"Pada pelaksanaan pemilu yang perlu diperhatikan apakah ada upaya mobilisasi ASN. Selain itu, perlu adanya mitigasi Pemilu 2024 yang dasarnya adalah praktik baik di kementerian/lembaga dan temuan di lapangan," kata Arie.
Berdasarkan data KASN 2020-2021, 2.034 ASN dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas ASN dengan 1.596 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melanggar dan dijatuhkan saksi. Di antara yang terbukti tersebut, 1.373 atau 86 persen telah ditindaklanjuti Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dengan penjatuhan sanksi.
Di sisi lain, Anggota Bawaslu Puadi mengatakan, pihaknya berkomitmen mengawasi netralitas ASN pada Pemilu serentak 2024. Dia menyampaikan sejumlah bentuk pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020, di antaranya mendaftarkan diri ke partai politik dengan tujuan menjadi bakal calon kepala daerah, menghadiri dan terlibat kegiatan parpol atau bakal calon kepala daerah, serta menunjukkan perbuatan yang berpihak kepada salah satu bakal calon atau pasangan calon di media sosial.
"Bawaslu punya moto Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu, sehingga memerlukan partisipasi masyarakat. Jika ada pelanggaran netralitas ASN pada pemilu, kita tunggu laporannya," kata dia.