REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Agama Buddha, Maha Pandita Utama (MPU) Suhadi Sandjaja, menilai, pemerintah perlu memperhatikan rasa keadilan dalam menetapkan harga tiket naik ke Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Menurut dia, sebagian masyarakat termasuk umat Buddha akan kesulitan membayar tarif Rp 750 ribu.
"Kalau seperti ini kan yang nggak punya Rp 750 ribu nggak bisa masuk," ujar Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) itu saat dihubungi Republika, Senin (6/6).
Di sisi lain, dia mendukung upaya pemerintah membatasi jumlah pengunjung demi menjaga kelestarian Candi Borobudur sebagai ikon sejarah Indonesia. Namun, kata dia, penentuan tarif naik ke Candi Borobudur perlu memperhatikan berbagai aspek, salah satunya rasa keadilan bagi semua kalangan masyarakat.
"Ada rasa keadilan lah, rakyat sampai sekarang belum sampai ke situ ya kemampuannya sebagian besar, sebagian kecil sih mampu mungkin," tutur Suhadi.
Suhadi menjelaskan, Candi Borobudur memang bukan rumah ibadah umat Buddha, melainkan hanya tempat ibadah. Umat Buddha dapat beribadah dan melakukan meditasi di Candi Borobudur.
Sehingga, menurut dia, kenaikan harga tiket sebetulnya tak ada pengaruh terhadap kelangsungan ibadah umat Buddha. Kendati demikian, pemerintah tetap perlu memikirkan warganya secara umum yang ingin berwisata ke destinasi wisata keagamaan Buddha itu.
"Sebetulnya tidak ada masalah dengan kaitannya soal ibadah, ya karena itu bukan memang rumah ibadah. Cuma kemudian disepakati khususnya bagi umat Buddha, diprioritaskan ada tempat untuk melakukan meditasi dan sebagainya," kata dia.
Pemerintah berencana menaikkan tarif tiket Candi Borobudur menjadi sebesar Rp 750 ribu per orang. Namun, wisatawan yang hanya ingin berkunjung hingga pelataran candi tetap dikenakan tarif normal Rp 50 ribu per orang. Adapun khusus untuk wisatawan mancanegara ditetapkan sebesar 100 dolar AS per orang.
Kebijakan melalui penentuan tarif tiket masuk bertujuan untuk membatasi jumlah wisatawan yang masuk, yakni 1.200 orang per hari atau sekitar 400 ribu kunjungan per tahun. Pembatasan jumlah tersebut berdasarkan kajian komprehensif untuk mengurangi kikisan batu di situs candi sekaligus mencegah penurunan muka tanah yang terus terjadi.