Selasa 07 Jun 2022 00:16 WIB

KPK Terima Laporan Dugaan Korupsi Pembangunan Masjid di Bima NTB

Pelapor berbekal hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Red: Andri Saubani
Jubir KPK Ali Fikri.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Jubir KPK Ali Fikri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan dari masyarakat terkait dengan dugaan korupsi dalam pembangunan Masjid Agung Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pelapor berbekal hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Betul. Berikutnya kami akan telaah dan verifikasi terlebih dahulu laporan dimaksud," ucap Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Senin (6/6/2022).

Baca Juga

Adapun pelaporan tersebut dilakukan oleh seorang warga Bima, NTB, bernama Syahrul Rizal di Gedung KPK, Jakarta, Senin. Sementara itu, pihak terlapor adalah Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri.

"Kedatangan kami hari ini adalah untuk melaporkan dugaan kasus korupsi pembangunan Masjid Agung Bima yang menurut laporan hasil pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) provinsi itu, potensial merugikan Rp 8,4 miliar keuangan negara," ucap Muhammad Mualimin selaku kuasa hukum Syahrul Rizal di Gedung KPK, Jakarta, Senin.

Selain bupati, ada tiga pihak lain yang menjadi terlapor, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bima, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kabupaten Bima, dan Direktur Utama PT Brahmakerta Adiwira. "Pembangunan Masjid Agung Bima ini dikerjakan oleh PT Brahmakerta Adiwira yang direktur utamanya Yufizar, yang di dalam penelusuran kami ternyata PT ini sering kali mengerjakan proyek itu telat dan berkali kali di-blacklist," kata Mualimin.

Ia menyebutkan total anggaran proyek pembangunan masjid tersebut sekitar Rp 78 miliar. Pembangunan masjid tersebut seharusnya dapat diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun namun tidak berhasil.

Disebutkan pula bahwa total pagunya itu sekitar Rp 78 miliar. Akan tetapi, dalam waktu 1 tahun yang harusnya diselesaikan oleh PT (Brahmakerta Adiwira) ini tidak berhasil diselesaikan, akhirnya meminta perpanjangan sampai delapan kali sehingga banyak kerugian salah satunya sanksi.

"Namun, ternyata PT ini hingga delapan kali, ini tidak mendapatkan sanksi dan masih dipertahankan," tuturnya.

Padahal, kata dia, pada 2019 PT itu mendapat blacklist dari lembaga pengkajian pemerintah. "Hal itu ternyata tidak dijadikan pertimbangan kenapa ini tidak disingkirkan saja PT ini? Kenapa masih dipakai? Track record-nya buruk begitu," kata Mualimin menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement