REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengakuan terhadap janin yang masih berada dalam perut (rahim) juga diatur dalam Islam. Bagaimana sebetulnya pandangan fikih terkait hal ini?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan, jika ada seorang perempuan hamil yang meminta pengakuan ayah atas janin yang dikandungnya, maka ayah dari isi kandungan itu, atau wali dari isi kandungan itu menjadi pihak yang berperkara dalam hal ini.
Apabila pengakuan si pengaku belum mencapai sesuatu apapun, maka pengakuannya itu sudah menjadi keharusan baginya (untuk dikukuhkan), apabila si perempuan melahirkan seorang anak dalam keadaan hidup dalam waktu kurang dari enam bulan, dengan apapun juga.
Apabila perempuan itu melahirkan dua orang anak laki-laki dan perempuan, atau keduanya laki-laki/perempuan, maka pada apa yang diakui si pengaku itu harus dibagi antara mereka berdua masing-masing setengah (satu).
Apabila perempuan tersebut melahirkan dua anak di mana yang satu hidup dan yang satu lagi meninggal, maka pengakuan itu jatuh pada si anak hidup pada masing-masing dari mereka berdua. Dan apabila perempuan itu melahirkan seorang anak yang mati atau dua orang anak yang mati, maka pengakuan padanya menjadi gugur.
Demikian pula halnya apabila si perempuan melahirkan seorang anak yang hidup atau dua orang yang hidup setalah genap enam bulan terhitung sejak hari disampaikannya pengakuan, maka pengakuan itu menjadi gugur. Karena mungkin saja anak itu muncul setelah pengakuan disampaikan, sehingga pengakuan si pengaku tidak jatuh pada apapun juga.
Imam Syafii berkata, "Jadi sebenarnya, saya membolehkan pengakuan (untuk dikukuhkan), jika saya mengetahui bahwa pengakuan yang bersangkutan jatuh pada seorang manusia yang sudah tercipta. Apabila seseorang mengaku untuk suatu kandungan, lalu si perempuan yang menjadi objek pengakuan itu melahirkan dua orang anak dari satu perut, tetapi anak yang satu lahir sebelum enam bulan, dan anak yang satu lagi lahir setelah enam bulan, maka pengakuan itu boleh jatuh pada kedua anak tersebut secara bersama-sama.
Sebab keduanya merupakan kandungan kehamilan yang sama, lalu yang sebagiannya (salah satunya) keluar (dilahirkan) sebelum enam bulan, sehingga status hukum anak yang keluar setelah enam bulan mengikuti status hukum anak yang lahir lebih dulu."
Namun demikian, Imam Syafii menekankan, apabila terjadi kemusykilan atau ada kemungkinan bahwa janin itu tercipta setelah pengakuan si pengaku, maka pengakuan itu menjadi gugur.