REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menilai kinerja Kejaksaan Agung di bawah pimpinan ST Burhanuddin semakin agresif menjalankan pemberantasan tindak pidana korupsi. Di sisi lain KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dinilai cukup tertinggal dibelakang Kejaksaan dalam penindakan korupsi belakangan ini.
"Saya rasa kejaksaan dibawah Pak Burhanuddin semakin agresif termasuk dalam mengembangkan kebijakan restorative justice. Ini kan hal yang baik, sehingga lebih menonjol Kejaksaan. Walaupun kerja penindakan di KPK saya yakin tetap berjalan juga," kata Jimly kepada wartawan, Kamis (16/6/2022).
Gesitnya Kejaksaan dalam menindak kasus korupsi belakangan ini, menurut dia bukan berarti KPK tidak bekerja. Tentu ia yakin KPK dibawah kepemimpinan Firli bekerja keras dalam pemberantasan korupsi. Namun sekali lagi ia menekankan, kali ini Kejaksaan lebih terdepan dalam penindakan kasus korupsi. Hal ini memang tidak lepas dari upaya Kejaksaan menerapkan restoratif justice.
Menurut Jimly, restorative justice hanya salah satu yang membuat kinerja pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan lebih menonjol. Ia menilai dengan masing-masing instansi pemberantasan korupsi baik KPK dan Kejaksaan terus berlomba dalam perbaikan kinerja, maka upaya peningkatan pemberantasan korupsi semakin baik.
"Tidak apa-apa, itu hal yang bagus. Jadi bersaing dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia," ujarnya.
Kemudian terkait alasan KPK yang ingin fokus ke upaya pencegahan dibandingkan penindakan. Menurut Jimly, kalau KPK hanya maunya pencegahan, maka tidak perlu dibentuk lagi KPK, kalau hanya mau bekerja untuk pencegahan.
Walaupun, ia mengakui pencegahan korupsi sesuatu hal yang juga penting, tetapi itu bukan tugas utama KPK. Menurut dia, itu tugas utama BPK, dan Inspektorat di pemerintahan. "Nah, mereka itu tugasnya mengefektifkan fungsi-fungsi pengawasan dan pencegahan korupsi jadi efektif," imbuhnya.
Sedangkan kalau KPK sendiri berdalih ingin fokus di pencegahan korupsi, ia melihat, tentu tidak bisa. Karena itu tugas komprehensif yang dilakukan semua lembaga, yang punya fungsi pengawasan tadi. Termasuk di dalamnya BPK dan BPKP.
Menurut Jimly, BPK itu sebenarnya lembaga semi peradilan, kalau BPK bisa selesaikan maka tidak perlu proses hukum pidana. "Jadi kalau mau pencegahan diefektifkan saja BPK, sehingga semua kerugian negara ini diberesin dari segi administrasi, dan yang bertanggungjawab harus bayar sampai dia miskin," tegas Jimly.
Bila ada kerugian negara, menurut hasil audit BPK, maka kerugian itu harus diganti oleh pejabat yang bersangkutan. Kalau tidak bisa diganti, baru diproses pidana. Maka ia yakin, bila hal itu dilakukan, akan lebih efektif untuk mencegah korupsi. "Jadi gak perlu masuk penjara, tapi uang negara diselamatkan. Karena memang fungsi BPK sebenarnya itu seperti itu," katanya.
Karena itu, mantan ketua MK ini kembali menegaskan, bukan posisi KPK yang tampil sendiri sebagai lembaga pencegahan korupsi. Tetapi ada BPK dan pejabat pengawas seperti inspektorat di semua kementerian. Ia mengatakan, semestinya ada yang mengkoordinir dalam upaya pencegahan tersebut.
Jimly mengharapkan, sebetulnya ke depan ada baiknya dibuat menteri koordinator perencanaan dan pengawasan. Sehingga proses penegakkan hukum dan pencegahan korupsi itu bisa dikoordinasikan secara efektif mulai dari perencanaan.
Sehingga kualitas perencanaan dan kualitas pembiayaan diawasi oleh satu kesatuan koordinasi. Dengan begitu fungsi pencegahan jadi lebih efektif. "Tapi kalau KPK yang mau tampil sendiri sebagai lembaga pencegahan tidak bisa, karena kerjanya KPK dihilir. Sedangkan kalau mengutamakan pencegahan, nanti tidak ada penindakan. Jadi KPK tidak bisa sendirian kalau mau ikut dalam pencegahan," tegas Jimly.